Pada zaman pra
kolonial di Indonesia, banyak terdapat kesatuan-kesatuan sosio kultural, antara lain sistem sosio kultural Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali.
Suatu sistem sosio kultural adalah suatu kesatuan,
berupa segmen-segmen dan institusi-institusi sosial yang mempunyai hubungan erat satu
sama lain dan secara fungsional
yang satu bergantung pada yang lain. Tiap-tiap sistem sosio kultural menunjukkan suatu jenis masyarakat
yang khusus pula.
Di Indonesia terdapat suatu kelanjutan perkembangan dari
kesatuan-kesatuan sosio kultural itu. Sebagai contoh sejarah adalah masyarakat
Jawa pada zaman Majapahit dan Mataram, masyarakat Melayu pada abad ke-15, dan
masyarakat Bali pada abad ke-19. Kesatuan-kesatuan sosio kultural tersebut
adalah sistem yang sangat kompleks dan cakupannya sangat luas, melingkupi
sistem-sistem lokal yang sederhana. Dalam perkembangan sejarah dan
pertumbuhannya dari yang sederhana sampai yang kompleks, kesatuan-kesatuan dan
kebiasaan-kebiasaan kultural yang sudah ada terlebih dahulu tidak hilang sama
sekali.
Di pandang dari segi kultural, konsistensi dan
bercampurnya tradisi kecil dan tradisi besar di Majapahit melahirkan peradaban
campuran. Dalam peradaban ini, kedua tradisi menjadi satu, sehingga
masing-masing hanya merupakan bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan. Tradisi
itu terdapat pada kelompok-kelompok rakyat yang menjadi pendukung peradaban itu
dalam bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan yang tidak sama. Kelompok-kelompok
rakyat ini hidup dalam keadaan yang berbeda-beda dan dalam lingkungan
sendiri-sendiri. Mereka ada yang hidup dalam pertapaan, ada yang di bidang
keagamaan di kota-kota atau di istana. Peradaban campuran yang berbeda-beda
bagian atau tingkatannya itu bukanlah kebudayaan lokal, juga berbeda dengan
kelompok-kelompok jabatan yang mengurusi kepentingan-kepentingan sekuler yang
khusus.
Pembagian kehidupan menjadi dua tingkatan tampak paling
jelas di dalam kehidupan keagamaan. Tingkatan rakyat kebanyakan terikat pada tradisi-tradisi
kecil seperti animisme, syamanisme dan pemujaan
nenek moyang. Tingkatan kaum elit dan cendikiawan sedikit banyak lebih terikat
pada tradisi besar, yaitu agama-agama dari India, seperti agama Syiwa, Buddha,
dan Wisnu. Tradisi besar senantiasa
ber-interaksi dengan kehidupan komunikas-komunitas lokal. Status seseorang
berhubungan erat dengan kebutuhan akan partisipasinya dalam upacara-upacara dan
cita-cita hidup seperti yang diajarkan dalam tradisi besar. Yang menjadi
perhatian terutama cara mengatur peranan-peranan dan status-status yang
bersangkutan dengan pemupukan dan pengajaran dari tradisi besar.
Abad ke-14 adalah zaman berkembangnya Kerajaan Majapahit.
Negara teokratis ini mencapai puncak kemegahannya pada zaman pemerintahan Raja
Hayam Wuruk (tahun 1350-1389). Tingkat pertanian yang maju dengan irigasi yang
luas disertai perdagangan internasional yang berkembang menciptakan
kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan teritorial, untuk
mengembangkan birokrasi yang semakin terperinci dan untuk menyusun kekuasaan
politik yang semakin disentralisasikan. Dinasti Majapahit berkembang melalui
suatu tahap pemungutan upeti dari negeri-negeri yang ditaklukkan atau
negeri-negeri yang lebih lemah, dan mencapai puncaknya setelah memiliki dominasi
politik atas suku-suku bangsa di seluruh kepulauan Nusantara, tetapi tanpa
peleburan teritorial. Ini merupakan integrasi tingkat negara, yang mencakup
masyarakat pertanian hidrolik dan masyarakat kota perdagangan, sehingga
Majapahit dianggap mencakup masyarakat pertanian dan perdagangan. Mataram dan
Bali dapat digolongkan sebagai masyarakat hidrolik, sedangkan Malaka sebagai
pusat perdagangan tanpa daerah pedalaman disebut kerajaan kota.
Seperti pada masyarakat agraris yang lain, agama memegang
peranan yang sangat penting di Majapahit dan terdapat banyak wakil-wakil agama.
Sehingga peradaban Majapahit memiliki corak dengan jabatan-jabatan agama yang
luas dan berpengaruh, seperti yang terjadi atas pendeta-pendeta Syiwa,
Buddha, Waisnawa, dan pendeta-pendeta
Syaman. Posisi kepemimpinan masyarakat Majapahit tidak hanya dipegang
oleh penguasa-penguasa wilayah atau pejabat-pejabat administrasi, tetapi juga
dipegang oleh pendeta-pendeta, juru kunci tempat keramat, dan juru magi.
Tumbuhnya kekuasaan pusat di tangan raja yang dianggap sebagai dewa, yang
memperkuat posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk
lembaga-lembaga kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan
kepada agama untuk berkembang menjadi agama yang dominan dan bebas, baik
politis maupun ekonomis. Selanjutnya sangatlah mungkin bahwa kekuasaan pusat
mengambil suatu sikap politik sinkretis, tidak hanya demi menjaga kerjasama
yang damai antara sekte-sekte agama, tetapi juga dengan tujuan untuk dapat
mengawasi sekte-sekte itu.
Salah satu tanda yang esensial dari kerajaan-kerajaan
dalam sejarah Jawa adalah adanya penghormatan terhadap nenek moyang. Pada zaman
Majapahit, penghormatan nenek moyang raja dilakukan bersamaan dengan permuliaan
raja-raja yang telah dimakamkan di candi-candi, baik candi Syiwa maupun
candi Buddha. Menurut kepercayaan kuno, penghormatan terhadap nenek
moyang adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara
bagian dunia hidup dan dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan.
Konsep adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat mempunyai arti yang sangat
besar pada pemikiran bangsa Jawa, sehingga hubungan ritual antar kerohanian dan
keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai
keseluruhan. Kepercayaan dan status kuno menjadi
sandaran penting bagi jabatan raja-raja Jawa. Alam pemikiran India tidak
berakar dalam karena penghormatan nenek moyang adalah kepercayaan yang dasar
bagi bangsa Jawa. Pendeta-pendeta digunakan sebagai pegawai istana tingkat
tinggi. Hal ini lebih dapat dipandang sebagai suatu maksud untuk memelihara
agama yang sudah diintegrasikan dalam sistem kekuasaan daripada sebagai usaha
mendirikan pemerintahan pendeta. Meski agama mempunyai peran melalui
lembaga-lembaganya, tetapi tidak ada yang dapat berkembang bebas.
Ada pemisahan yang jelas antara pejabat-pejabat sekuler
dan pejabat-pejabat agama dan taraf kerajaan. Hal ini menyebabkan adanya
perbedaan yang jelas antara kelompok elit sekuler, mantri, dan kelompok elit
kerohaniawan, bhujangga. Masing-masing kelompok elit agama dapat
dibedakan, baik menurut sekte maupun menurut pangkat mereka di dalam hirarki
kerajaan. Di luar kelompok pejabat-pejabat rohaniah ini juga terdapat kaum
agama di antara penduduk desa, baik di mandala ataupun mereka yang hidup
sebagai pertapa, ulama-ulama ataupun sebagai cendikiawan-cendikiawan desa
(resi, janggan).
Pangkat
yang tertinggi di antara pendeta-pendeta raja (wikuhaji) dijabat oleh dua orang
pendeta tinggi atau dharmadhyaksa. Seorang brahmana Syiwa lebih
diutamakan daripada seorang pandita Buddha. Dualisme kerja sama
agama-agama istana ini menunjukkan aspek material dunia, sedangkan agama Buddha
menunjukkan aspek immaterial. Tujuh orang yang diangkat sebagai pembantu
(unapatti) langsung ditempatkan di bawah kedua orang pendeta tinggi tersebut.
Rohaniawan-rohaniawan yang lain di istana dipekerjakan sebagai pengarang atau
juru tulis. Kemudian sejumlah kecil ahli-ahli dan sarjana-sarjana hukum juga
ditempatkan di istana, baik dari agama Buddha (bhikkhu) maupun
brahmana-brahmana dari agama Syiwa. Pendeta-pendeta istana khusus
diangkat sebagai pengawas yayasan-yayasan atau lembaga-lembaga agama.
Syiwadvaksa mengepalai tempat-tempat suci (patiyangan) dan tempat pemukiman
empu-empu (kalagyan), Buddhadhyakas mengepalai tempat-tempat sembahyang (kuil)
dan vihāra-vihāra, mantri berhaji mengepalai tempat-tempat
para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan yang
menghambakan diri pada raja, baik di istana maupun di kota-kota propinsi
dinyatakan sebagai wikuhaji. Mereka berbeda dengan rohaniawan biasa ataupun
pendeta-pendeta tunjukkan vang betempat tinggal di tanah Nvarisan mereka atau
daerah mereka. Mereka ini tidak mempunvai fungsi resmi.
Kaum
agama bisa hidup berkelompok di sekitar bangunan-bangunan agama, seperti mandala,
dharma, sima, vihāra, dan sebagainya. Pada umumnya mandala
memperoleh kebebasan yang luas. Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak
dan hanya diwajibkan membayar beberapa pajak yang memang sudah lazim. Mereka
disusun di bawah kekuasaan pendeta tinggi, bebas dari campur tangan raja dan
bebas dari kewajiban-kewajiban dari pemilik tanah sekuler. Dari segi politik,
hak istimewa yang dianugerahkan raja kepada rohaniawan dan keluarganya membantu
mempertahankan kepentingan-kepentingan dinasti. Keluarga-keluarga yang hidup
di dharma-dharma raja (mandala) memelihara hubungan yang baik
dengan istana dan menjadi penyokongpenyokong kerajaan yang setia.
Kepentingan-kepentingan mereka disamakan dengan pengikut raja yang berpangkat
pendeta tinggi. Semua mandala yang berada di bawah perlindungan istana
dinamakan dharmahaji sebagai lawan dari dharma lepas yang
mempunyai wilayah yang bebas (swatantra). Dharma yang penting
adalah dharma yang mengepalai dharma-dharma seperti itu, yaitu
golongan pendeta yang berbangsa (amatya) dan bhikkhu
(pendeta-pendeta yang ditunjuk) atau sthapaka (pembesar Vihāra).
Keduanya dipilih di antara sanak saudara raja yang telah mangkat menurut garis
keturunan pihak ayah dan lbu.
Mandala adalah
nama komunitas agama di desa, biasanya ditempatkan di daerah yang terpencil, di
bukit-bukit yang memiliki hutan. Orang-orang mandala ternyata mempunyai
posisi besar dalam kerajaan, pada umumnya mereka bercocok tanam. Dibandingkan
dengan orang huluan hyang (pemuja roh atau dewa-dewa lokal), orang-orang
mandala lebih beradab. Sima adalah daerah yang menjadi milik kaum agama
dari berbagai sekte, tidak langsung disusun di bawah kekuasaan pejabat-pejabat
istana siapapun. Pembesar atau kepala mandala dan kaum bangsawan mungkin
memerintahkan budak-budak untuk mengolah tanah mereka dan memungut panennya,
sebagian pengolahan tanah dan panen itu diserahkan kepada pekerja-pekerja dari
komunitas desa yang ada di dekatnya. Pekerja-pekerja itu dibayar dengan
sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut adat.
Sistem
empat bagian yang ada pada waktu itu disebut caturdwija (empat jabatan
pendeta), yang terdiri atas wipra agama Wisnu (Brahmin) dan resyi
- syiwa - sogata. Ketiga pendeta ini memiliki hubungan dengan tripaksa,
yaitu tiga sekte yang diakui sebagai agama kerajaan di Majapahit. Bagi
golongan-golongan sekuler, klasifikasi yang disebut dengan kata caturjanan
(empat golongan orang) terdiri atas mandarin (mantri), bangsawan
(ksyria), bangsawan rendahan, dan rakyat kebanyakan (syudra).
Meskipun demikian, sistem India ini ternyata tidak berlaku dalam kehidupan yang
sebenarnya.
Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar