Kamis, 26 April 2012

SOSIO KULTURAL DI KERAJAAN MAJAPAHIT

Pada zaman pra kolonial di Indonesia, banyak terdapat kesatuan-kesatuan sosio kultural, antara lain sistem sosio kultural Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali. Suatu sistem sosio kultural adalah suatu kesatuan, berupa segmen-segmen dan institusi-institusi sosial yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan secara fungsional yang satu bergantung pada yang lain. Tiap-tiap sistem sosio kultural menunjukkan suatu jenis masyarakat yang khusus pula.

Di Indonesia terdapat suatu kelanjutan perkembangan dari kesatuan-kesatuan sosio kultural itu. Sebagai contoh sejarah adalah masyarakat Jawa pada zaman Majapahit dan Mataram, masyarakat Melayu pada abad ke-15, dan masyarakat Bali pada abad ke-19. Kesatuan-kesatuan sosio kultural tersebut adalah sistem yang sangat kompleks dan cakupannya sangat luas, melingkupi sistem­-sistem lokal yang sederhana. Dalam perkembangan sejarah dan pertumbuhannya dari yang sederhana sampai yang kompleks, kesatuan-kesatuan dan kebiasaan-kebiasaan kultural yang sudah ada terlebih dahulu tidak hilang sama sekali.

Di pandang dari segi kultural, konsistensi dan bercampurnya tradisi kecil dan tradisi besar di Majapahit melahirkan peradaban campuran. Dalam peradaban ini, kedua tradisi menjadi satu, sehingga masing-masing hanya merupakan bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan. Tradisi itu terdapat pada kelompok-kelompok rakyat yang menjadi pendukung peradaban itu dalam bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan yang tidak sama. Kelompok-kelompok rakyat ini hidup dalam keadaan yang berbeda-beda dan dalam lingkungan sendiri-sendiri. Mereka ada yang hidup dalam pertapaan, ada yang di bidang keagamaan di kota-kota atau di istana. Peradaban campuran yang berbeda-beda bagian atau tingkatannya itu bukanlah kebudayaan lokal, juga berbeda dengan kelompok­-kelompok jabatan yang mengurusi kepentingan-kepentingan sekuler yang khusus.

Pembagian kehidupan menjadi dua tingkatan tampak paling jelas di dalam kehidupan keagamaan. Tingkatan rakyat kebanyakan terikat pada tradisi-tradisi kecil seperti animisme, syamanisme dan pemujaan nenek moyang. Tingkatan kaum elit dan cendikiawan sedikit banyak lebih terikat pada tradisi besar, yaitu agama-agama dari India, seperti agama Syiwa, Buddha, dan Wisnu. Tradisi besar senantiasa ber-interaksi dengan kehidupan komunikas-komunitas lokal. Status seseorang berhubungan erat dengan kebutuhan akan partisipasinya dalam upacara-upacara dan cita-cita hidup seperti yang diajarkan dalam tradisi besar. Yang menjadi perhatian terutama cara mengatur peranan-peranan dan status-status yang bersangkutan dengan pemupukan dan pengajaran dari tradisi besar.

Abad ke-14 adalah zaman berkembangnya Kerajaan Majapahit. Negara teokratis ini mencapai puncak kemegahannya pada zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (tahun 1350-1389). Tingkat pertanian yang maju dengan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang semakin terperinci dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin disentralisasikan. Dinasti Majapahit berkembang melalui suatu tahap pemungutan upeti dari negeri-negeri yang ditaklukkan atau negeri-negeri yang lebih lemah, dan mencapai puncaknya setelah memiliki dominasi politik atas suku-suku bangsa di seluruh kepulauan Nusantara, tetapi tanpa peleburan teritorial. Ini merupakan integrasi tingkat negara, yang mencakup masyarakat pertanian hidrolik dan masyarakat kota perdagangan, sehingga Majapahit dianggap mencakup masyarakat pertanian dan perdagangan. Mataram dan Bali dapat digolongkan sebagai masyarakat hidrolik, sedangkan Malaka sebagai pusat perdagangan tanpa daerah pedalaman disebut kerajaan kota.

Seperti pada masyarakat agraris yang lain, agama memegang peranan yang sangat penting di Majapahit dan terdapat banyak wakil-wakil agama. Sehingga peradaban Majapahit memiliki corak dengan jabatan-jabatan agama yang luas dan berpengaruh, seperti yang terjadi atas pendeta-pendeta Syiwa, Buddha, Waisnawa, dan pendeta-pendeta Syaman. Posisi kepemimpinan masyarakat Majapahit tidak hanya dipegang oleh penguasa­-penguasa wilayah atau pejabat-pejabat administrasi, tetapi juga dipegang oleh pendeta-pendeta, juru kunci tempat keramat, dan juru magi. Tumbuhnya kekuasaan pusat di tangan raja yang dianggap sebagai dewa, yang memperkuat posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk lembaga-lembaga kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan kepada agama untuk berkembang menjadi agama yang dominan dan bebas, baik politis maupun ekonomis. Selanjutnya sangatlah mungkin bahwa kekuasaan pusat mengambil suatu sikap politik sinkretis, tidak hanya demi menjaga kerjasama yang damai antara sekte-sekte agama, tetapi juga dengan tujuan untuk dapat mengawasi sekte-sekte itu.

Salah satu tanda yang esensial dari kerajaan-kerajaan dalam sejarah Jawa adalah adanya penghormatan terhadap nenek moyang. Pada zaman Majapahit, penghormatan nenek moyang raja dilakukan bersamaan dengan permuliaan raja-raja yang telah dimakamkan di candi-candi, baik candi Syiwa maupun candi Buddha. Menurut kepercayaan kuno, penghormatan terhadap nenek moyang adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara bagian dunia hidup dan dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan. Konsep adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat mempunyai arti yang sangat besar pada pemikiran bangsa Jawa, sehingga hubungan ritual antar kerohanian dan keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai keseluruhan. Kepercayaan dan status kuno menjadi sandaran penting bagi jabatan raja-raja Jawa. Alam pemikiran India tidak berakar dalam karena penghormatan nenek moyang adalah kepercayaan yang dasar bagi bangsa Jawa. Pendeta-pendeta digunakan sebagai pegawai istana tingkat tinggi. Hal ini lebih dapat dipandang sebagai suatu maksud untuk memelihara agama yang sudah diintegrasikan dalam sistem kekuasaan daripada sebagai usaha mendirikan pemerintahan pendeta. Meski agama mempunyai peran melalui lembaga-lembaganya, tetapi tidak ada yang dapat berkembang bebas.

Ada pemisahan yang jelas antara pejabat-pejabat sekuler dan pejabat­-pejabat agama dan taraf kerajaan. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan yang jelas antara kelompok elit sekuler, mantri, dan kelompok elit kerohaniawan, bhujangga. Masing-masing kelompok elit agama dapat dibedakan, baik menurut sekte maupun menurut pangkat mereka di dalam hirarki kerajaan. Di luar kelompok pejabat-pejabat rohaniah ini juga terdapat kaum agama di antara penduduk desa, baik di mandala ataupun mereka yang hidup sebagai pertapa, ulama-ulama ataupun sebagai cendikiawan­-cendikiawan desa (resi, janggan).

Pangkat yang tertinggi di antara pendeta-pendeta raja (wikuhaji) dijabat oleh dua orang pendeta tinggi atau dharmadhyaksa. Seorang brahmana Syiwa lebih diutamakan daripada seorang pandita Buddha. Dualisme kerja sama agama-agama istana ini menunjukkan aspek material dunia, sedangkan agama Buddha menunjukkan aspek immaterial. Tujuh orang yang diangkat sebagai pembantu (unapatti) langsung ditempatkan di bawah kedua orang pendeta tinggi tersebut. Rohaniawan-rohaniawan yang lain di istana dipekerjakan sebagai pengarang atau juru tulis. Kemudian sejumlah kecil ahli-ahli dan sarjana-sarjana hukum juga ditempatkan di istana, baik dari agama Buddha (bhikkhu) maupun brahmana-brahmana dari agama Syiwa. Pendeta-pendeta istana khusus diangkat sebagai pengawas yayasan-yayasan atau lembaga-lembaga agama. Syiwadvaksa mengepalai tempat-tempat suci (patiyangan) dan tempat pemukiman empu-empu (kalagyan), Buddhadhyakas mengepalai tempat-tempat sembahyang (kuil) dan vihāra-vihāra, mantri berhaji mengepalai tempat-tempat para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan yang menghambakan diri pada raja, baik di istana maupun di kota-kota propinsi dinyatakan sebagai wikuhaji. Mereka berbeda dengan rohaniawan biasa ataupun pendeta-pendeta tunjukkan vang betempat tinggal di tanah Nvarisan mereka atau daerah mereka. Mereka ini tidak mempunvai fungsi resmi.

Kaum agama bisa hidup berkelompok di sekitar bangunan-­bangunan agama, seperti mandala, dharma, sima, vihāra, dan sebagainya. Pada umumnya mandala memperoleh kebebasan yang luas. Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa pajak yang memang sudah lazim. Mereka disusun di bawah kekuasaan pendeta tinggi, bebas dari campur tangan raja dan bebas dari kewajiban-kewajiban dari pemilik tanah sekuler. Dari segi politik, hak istimewa yang dianugerahkan raja kepada rohaniawan dan keluarganya membantu mempertahankan kepentingan-kepentingan dinasti. Keluarga-­keluarga yang hidup di dharma-dharma raja (mandala) memelihara hubungan yang baik dengan istana dan menjadi penyokong­penyokong kerajaan yang setia. Kepentingan-kepentingan mereka disamakan dengan pengikut raja yang berpangkat pendeta tinggi. Semua mandala yang berada di bawah perlindungan istana dinamakan dharmahaji sebagai lawan dari dharma lepas yang mempunyai wilayah yang bebas (swatantra). Dharma yang penting adalah dharma yang mengepalai dharma-dharma seperti itu, yaitu golongan pendeta yang berbangsa (amatya) dan bhikkhu (pendeta-pendeta yang ditunjuk) atau sthapaka (pembesar Vihāra). Keduanya dipilih di antara sanak saudara raja yang telah mangkat menurut garis keturunan pihak ayah dan lbu.

Mandala adalah nama komunitas agama di desa, biasanya ditempatkan di daerah yang terpencil, di bukit-bukit yang memiliki hutan. Orang-orang mandala ternyata mempunyai posisi besar dalam kerajaan, pada umumnya mereka bercocok tanam. Dibandingkan dengan orang huluan hyang (pemuja roh atau dewa-dewa lokal), orang-orang mandala lebih beradab. Sima adalah daerah yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung disusun di bawah kekuasaan pejabat-pejabat istana siapapun. Pembesar atau kepala mandala dan kaum bangsawan mungkin memerintahkan budak-budak untuk mengolah tanah mereka dan memungut panennya, sebagian pengolahan tanah dan panen itu diserahkan kepada pekerja-pekerja dari komunitas desa yang ada di dekatnya. Pekerja-pekerja itu dibayar dengan sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut adat.

Sistem empat bagian yang ada pada waktu itu disebut caturdwija (empat jabatan pendeta), yang terdiri atas wipra agama Wisnu (Brahmin) dan resyi - syiwa - sogata. Ketiga pendeta ini memiliki hubungan dengan tripaksa, yaitu tiga sekte yang diakui sebagai agama kerajaan di Majapahit. Bagi golongan-golongan sekuler, klasifikasi yang disebut dengan kata caturjanan (empat golongan orang) terdiri atas mandarin (mantri), bangsawan (ksyria), bangsawan rendahan, dan rakyat kebanyakan (syudra). Meskipun demikian, sistem India ini ternyata tidak berlaku dalam kehidupan yang sebenarnya.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More