Kamis, 26 April 2012

Faisal Wibowo

Silahkan add Facebook saya: Faisal Wibowo (https://facebook.com/aeneas92) atau Twitter (@isal_wibowo), atau melalui Email: isalwibowo@gmail.com / faisal.wibowo@yahoo.co.id. Terima Kasih........ ^_^

Salam Sukses ................. !!!
»»  READMORE...

SOSIO KULTURAL DI KERAJAAN MAJAPAHIT

Pada zaman pra kolonial di Indonesia, banyak terdapat kesatuan-kesatuan sosio kultural, antara lain sistem sosio kultural Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali. Suatu sistem sosio kultural adalah suatu kesatuan, berupa segmen-segmen dan institusi-institusi sosial yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan secara fungsional yang satu bergantung pada yang lain. Tiap-tiap sistem sosio kultural menunjukkan suatu jenis masyarakat yang khusus pula.

Di Indonesia terdapat suatu kelanjutan perkembangan dari kesatuan-kesatuan sosio kultural itu. Sebagai contoh sejarah adalah masyarakat Jawa pada zaman Majapahit dan Mataram, masyarakat Melayu pada abad ke-15, dan masyarakat Bali pada abad ke-19. Kesatuan-kesatuan sosio kultural tersebut adalah sistem yang sangat kompleks dan cakupannya sangat luas, melingkupi sistem­-sistem lokal yang sederhana. Dalam perkembangan sejarah dan pertumbuhannya dari yang sederhana sampai yang kompleks, kesatuan-kesatuan dan kebiasaan-kebiasaan kultural yang sudah ada terlebih dahulu tidak hilang sama sekali.

Di pandang dari segi kultural, konsistensi dan bercampurnya tradisi kecil dan tradisi besar di Majapahit melahirkan peradaban campuran. Dalam peradaban ini, kedua tradisi menjadi satu, sehingga masing-masing hanya merupakan bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan. Tradisi itu terdapat pada kelompok-kelompok rakyat yang menjadi pendukung peradaban itu dalam bagian-bagian atau tingkatan-tingkatan yang tidak sama. Kelompok-kelompok rakyat ini hidup dalam keadaan yang berbeda-beda dan dalam lingkungan sendiri-sendiri. Mereka ada yang hidup dalam pertapaan, ada yang di bidang keagamaan di kota-kota atau di istana. Peradaban campuran yang berbeda-beda bagian atau tingkatannya itu bukanlah kebudayaan lokal, juga berbeda dengan kelompok­-kelompok jabatan yang mengurusi kepentingan-kepentingan sekuler yang khusus.

Pembagian kehidupan menjadi dua tingkatan tampak paling jelas di dalam kehidupan keagamaan. Tingkatan rakyat kebanyakan terikat pada tradisi-tradisi kecil seperti animisme, syamanisme dan pemujaan nenek moyang. Tingkatan kaum elit dan cendikiawan sedikit banyak lebih terikat pada tradisi besar, yaitu agama-agama dari India, seperti agama Syiwa, Buddha, dan Wisnu. Tradisi besar senantiasa ber-interaksi dengan kehidupan komunikas-komunitas lokal. Status seseorang berhubungan erat dengan kebutuhan akan partisipasinya dalam upacara-upacara dan cita-cita hidup seperti yang diajarkan dalam tradisi besar. Yang menjadi perhatian terutama cara mengatur peranan-peranan dan status-status yang bersangkutan dengan pemupukan dan pengajaran dari tradisi besar.

Abad ke-14 adalah zaman berkembangnya Kerajaan Majapahit. Negara teokratis ini mencapai puncak kemegahannya pada zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (tahun 1350-1389). Tingkat pertanian yang maju dengan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang semakin terperinci dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin disentralisasikan. Dinasti Majapahit berkembang melalui suatu tahap pemungutan upeti dari negeri-negeri yang ditaklukkan atau negeri-negeri yang lebih lemah, dan mencapai puncaknya setelah memiliki dominasi politik atas suku-suku bangsa di seluruh kepulauan Nusantara, tetapi tanpa peleburan teritorial. Ini merupakan integrasi tingkat negara, yang mencakup masyarakat pertanian hidrolik dan masyarakat kota perdagangan, sehingga Majapahit dianggap mencakup masyarakat pertanian dan perdagangan. Mataram dan Bali dapat digolongkan sebagai masyarakat hidrolik, sedangkan Malaka sebagai pusat perdagangan tanpa daerah pedalaman disebut kerajaan kota.

Seperti pada masyarakat agraris yang lain, agama memegang peranan yang sangat penting di Majapahit dan terdapat banyak wakil-wakil agama. Sehingga peradaban Majapahit memiliki corak dengan jabatan-jabatan agama yang luas dan berpengaruh, seperti yang terjadi atas pendeta-pendeta Syiwa, Buddha, Waisnawa, dan pendeta-pendeta Syaman. Posisi kepemimpinan masyarakat Majapahit tidak hanya dipegang oleh penguasa­-penguasa wilayah atau pejabat-pejabat administrasi, tetapi juga dipegang oleh pendeta-pendeta, juru kunci tempat keramat, dan juru magi. Tumbuhnya kekuasaan pusat di tangan raja yang dianggap sebagai dewa, yang memperkuat posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk lembaga-lembaga kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan kepada agama untuk berkembang menjadi agama yang dominan dan bebas, baik politis maupun ekonomis. Selanjutnya sangatlah mungkin bahwa kekuasaan pusat mengambil suatu sikap politik sinkretis, tidak hanya demi menjaga kerjasama yang damai antara sekte-sekte agama, tetapi juga dengan tujuan untuk dapat mengawasi sekte-sekte itu.

Salah satu tanda yang esensial dari kerajaan-kerajaan dalam sejarah Jawa adalah adanya penghormatan terhadap nenek moyang. Pada zaman Majapahit, penghormatan nenek moyang raja dilakukan bersamaan dengan permuliaan raja-raja yang telah dimakamkan di candi-candi, baik candi Syiwa maupun candi Buddha. Menurut kepercayaan kuno, penghormatan terhadap nenek moyang adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara bagian dunia hidup dan dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan. Konsep adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat mempunyai arti yang sangat besar pada pemikiran bangsa Jawa, sehingga hubungan ritual antar kerohanian dan keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai keseluruhan. Kepercayaan dan status kuno menjadi sandaran penting bagi jabatan raja-raja Jawa. Alam pemikiran India tidak berakar dalam karena penghormatan nenek moyang adalah kepercayaan yang dasar bagi bangsa Jawa. Pendeta-pendeta digunakan sebagai pegawai istana tingkat tinggi. Hal ini lebih dapat dipandang sebagai suatu maksud untuk memelihara agama yang sudah diintegrasikan dalam sistem kekuasaan daripada sebagai usaha mendirikan pemerintahan pendeta. Meski agama mempunyai peran melalui lembaga-lembaganya, tetapi tidak ada yang dapat berkembang bebas.

Ada pemisahan yang jelas antara pejabat-pejabat sekuler dan pejabat­-pejabat agama dan taraf kerajaan. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan yang jelas antara kelompok elit sekuler, mantri, dan kelompok elit kerohaniawan, bhujangga. Masing-masing kelompok elit agama dapat dibedakan, baik menurut sekte maupun menurut pangkat mereka di dalam hirarki kerajaan. Di luar kelompok pejabat-pejabat rohaniah ini juga terdapat kaum agama di antara penduduk desa, baik di mandala ataupun mereka yang hidup sebagai pertapa, ulama-ulama ataupun sebagai cendikiawan­-cendikiawan desa (resi, janggan).

Pangkat yang tertinggi di antara pendeta-pendeta raja (wikuhaji) dijabat oleh dua orang pendeta tinggi atau dharmadhyaksa. Seorang brahmana Syiwa lebih diutamakan daripada seorang pandita Buddha. Dualisme kerja sama agama-agama istana ini menunjukkan aspek material dunia, sedangkan agama Buddha menunjukkan aspek immaterial. Tujuh orang yang diangkat sebagai pembantu (unapatti) langsung ditempatkan di bawah kedua orang pendeta tinggi tersebut. Rohaniawan-rohaniawan yang lain di istana dipekerjakan sebagai pengarang atau juru tulis. Kemudian sejumlah kecil ahli-ahli dan sarjana-sarjana hukum juga ditempatkan di istana, baik dari agama Buddha (bhikkhu) maupun brahmana-brahmana dari agama Syiwa. Pendeta-pendeta istana khusus diangkat sebagai pengawas yayasan-yayasan atau lembaga-lembaga agama. Syiwadvaksa mengepalai tempat-tempat suci (patiyangan) dan tempat pemukiman empu-empu (kalagyan), Buddhadhyakas mengepalai tempat-tempat sembahyang (kuil) dan vihāra-vihāra, mantri berhaji mengepalai tempat-tempat para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan yang menghambakan diri pada raja, baik di istana maupun di kota-kota propinsi dinyatakan sebagai wikuhaji. Mereka berbeda dengan rohaniawan biasa ataupun pendeta-pendeta tunjukkan vang betempat tinggal di tanah Nvarisan mereka atau daerah mereka. Mereka ini tidak mempunvai fungsi resmi.

Kaum agama bisa hidup berkelompok di sekitar bangunan-­bangunan agama, seperti mandala, dharma, sima, vihāra, dan sebagainya. Pada umumnya mandala memperoleh kebebasan yang luas. Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa pajak yang memang sudah lazim. Mereka disusun di bawah kekuasaan pendeta tinggi, bebas dari campur tangan raja dan bebas dari kewajiban-kewajiban dari pemilik tanah sekuler. Dari segi politik, hak istimewa yang dianugerahkan raja kepada rohaniawan dan keluarganya membantu mempertahankan kepentingan-kepentingan dinasti. Keluarga-­keluarga yang hidup di dharma-dharma raja (mandala) memelihara hubungan yang baik dengan istana dan menjadi penyokong­penyokong kerajaan yang setia. Kepentingan-kepentingan mereka disamakan dengan pengikut raja yang berpangkat pendeta tinggi. Semua mandala yang berada di bawah perlindungan istana dinamakan dharmahaji sebagai lawan dari dharma lepas yang mempunyai wilayah yang bebas (swatantra). Dharma yang penting adalah dharma yang mengepalai dharma-dharma seperti itu, yaitu golongan pendeta yang berbangsa (amatya) dan bhikkhu (pendeta-pendeta yang ditunjuk) atau sthapaka (pembesar Vihāra). Keduanya dipilih di antara sanak saudara raja yang telah mangkat menurut garis keturunan pihak ayah dan lbu.

Mandala adalah nama komunitas agama di desa, biasanya ditempatkan di daerah yang terpencil, di bukit-bukit yang memiliki hutan. Orang-orang mandala ternyata mempunyai posisi besar dalam kerajaan, pada umumnya mereka bercocok tanam. Dibandingkan dengan orang huluan hyang (pemuja roh atau dewa-dewa lokal), orang-orang mandala lebih beradab. Sima adalah daerah yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung disusun di bawah kekuasaan pejabat-pejabat istana siapapun. Pembesar atau kepala mandala dan kaum bangsawan mungkin memerintahkan budak-budak untuk mengolah tanah mereka dan memungut panennya, sebagian pengolahan tanah dan panen itu diserahkan kepada pekerja-pekerja dari komunitas desa yang ada di dekatnya. Pekerja-pekerja itu dibayar dengan sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut adat.

Sistem empat bagian yang ada pada waktu itu disebut caturdwija (empat jabatan pendeta), yang terdiri atas wipra agama Wisnu (Brahmin) dan resyi - syiwa - sogata. Ketiga pendeta ini memiliki hubungan dengan tripaksa, yaitu tiga sekte yang diakui sebagai agama kerajaan di Majapahit. Bagi golongan-golongan sekuler, klasifikasi yang disebut dengan kata caturjanan (empat golongan orang) terdiri atas mandarin (mantri), bangsawan (ksyria), bangsawan rendahan, dan rakyat kebanyakan (syudra). Meskipun demikian, sistem India ini ternyata tidak berlaku dalam kehidupan yang sebenarnya.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
»»  READMORE...

Kerajaan Sriwijaya

 Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan yang dijumpai di Sumatera dan diduga sudah berdiri sejak abad ke-lima Masehi dan berpusat di daerah Palembang, mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Kerajaan Mataram yang diperintah oleh keluarga Sailendra.

Para ahli masih berselisih paham mengenai hubungan antara Sriwijaya dan Mataram, sehubungan dengan bahan-bahan sejarah, seperti :

   a.       Penulis-penulis bangsa China tidak pernah menyebutkan adanya duta-duta (utusan-utusan) dari Jawa Tengah ke China.
   b.      Tidak terdapat candi-candi besar di Sumatera yang sebesar Candi Borobudur yang ada pada zaman Sailendra.
    c.       Piagam-piagam yang terdapat di candi-candi di Sumatera lebih banyak mempergunakan bahasa Melayu Kuno dan ditulis dalam huruf Pallawa, sedangkan yang dipakai di Jawa Tengah dalam huruf Nagari.

Sebelum Kerajaan Sriwijaya berkembang, di dekatnya dan juga sebagai saingannya terdapat kerajaan Melayu yang letaknya kira-kira di Jambi sekarang. Kerajaan Melayu itu bahkan berdiri terlebih dahulu dibandingkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Tetapi Kerajaan Sriwijaya lebih berkuasa daripada Kerajaan Melayu. Selama abad ke-tujuh, Kerajaan Sriwijaya tidak hanya meliputi Palembang dan sekitarnya saja, tetapi berkembang hingga meliputi sebelah Barat Nusantara. Kerajaan Melayu sejak itu ada di bawah kekuasaan Sriwijaya, walaupun masih boleh berdiri sebagai negara.

Mengapa di bagian Timur Sumatera dapat berdiri kerajaan-kerajaan? Sejak tahun Masehi, Selat Malaka menjadi lalu lintas pedagang-pedagang dari Barat sampai ke Timur, yaitu dari Arab dan India hingga kota-kota pantai di China. Perdagangan tersebut semakin lama semakin ramai, bahkan pada abad ke empat telah terdapat kelompok pedagang orang Arab yang tinggal di Canton. Sejak agama Islam muncul, lalu lintas tersebut bertambah ramai lagi. Hubungan Barat dan Timur semakin erat karena pertukaran duta antara maharaja China dengan seorang raja India. Perdagangan tidak terbatas antara Arab, India, dan China saja, tetapi juga dengan negara-negara kecil yang timbul di Birma sekarang, Campa, Siam, dan Annam, begitu pula  dengan pulau-pulau yang terdapat di Indonesia yang juga ikut dalam perdagangan, sehingga menyebabkan lalu lintas di Selat Malaka semakin ramai. Keadaan demikian menyebabkan daerah di sekitar selat itu dipergunakan sebagai tempat perhentian untuk menambah perbekalan mereka dalam perjalanan. Hal itu menyebabkan beberapa daerah di sekitar selat itu saling bersaing, saling berusaha untuk berkembang lebih maju dari yang lain. Kejadian antara Jambi dan Sriwijaya dapat dijadikan bukti. Kerajaan Sriwijaya tidak suka melihat kemunduran ibukotanya karena kemajuan dari Melayu dan Bangka. Maka mereka segera mengambil tindakan terhadap Melayu dan Bangka.

Di bagian barat Bangka, di kota Kapur, terdapat tiang batu persegi enam dengan piagam terdiri dari sepuluh baris yang ditulis dalam huruf  Pallawa. Piagam itu dimulai dengan bagian berupa mantera yang tidak dapat dimengerti, dilanjutkan dengan seruan kepada dewa-dewa dan makhluk halus lain yang melindungi "kedatuan" Sriwijaya. Kedatuan ini dapat diartikan sebagai "kerajaan" (Jawa Kedaton) atau daerah yang diperintah oleh Datu (Gubernur). Selanjutnya diterangkan bahwa terkutuklah mereka yang durhaka kepada orang-or­ang yang menjadi datu Sriwijaya. Baris ini memuat tanggal pembuatan piagam yaitu pada tahun 686, dan diterangkan pula bahwa pada tahun itu Sriwijaya sedang mengadakan serbuan ke Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Kesimpulan yang diperoleh dari piagam ini adalah bahwa Bangka waktu itu termasuk dalam daerah kekuasaan Jawa yang direbut oleh Sriwijaya.

Siapa yang menguasai daerah Bangka dan Jawa pada waktu itu belum dapat diketahui. Hanya diketahui bahwa Kerajaan Mataram yang terdapat di Jawa Tengah diperintah oleh keturunan Raja Sailendra, demikian pula dengan Kerajaan Sriwijaya.


Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya

Pada abad ke-tujuh dan abad ke-delapan, Kerajaan Sriwijaya mencapai masa keemasannya. Kekuasaannya meliputi bagian Barat Nusantara, yaitu semenanjung Malaka, Melayu, daerah pantai barat, Borneo Barat. Sejak abad itu pula Kerajaan Sriwijaya selalu mengirim duta ke China, yang berlangsung hingga tahun 1178. Pada tahun 992, duta yang dikirim ke China berhalangan untuk pulang kembali ke Kerajaan Sriwijaya karena Kerajaan Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa, dan laut di sekitar Bangka dikuasai oleh angkatan laut Dharmawangsa. Namun, tidak lama kemudian Sriwijaya dapat membalas dendam. Pada waktu itu Kerajaan Dharmawangsa tidak dapat dilanjutkan lagi oleh Erlangga jika Sriwijaya tidak mendapat serangan dari barat, yaitu dari Kerajaan Cola di India Selatan.

Pada abad ke-tujuh, ketika kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sedang pada puncaknya, Palembang tidak hanya menjadi pusat politik, tetapi juga menjadi pusat agama, terutama agama Buddha. Catatan yang dibuat I-Tsing memberitakan bahwa pada tahun 671 beliau berangkat dari Kanton dan menuju ke Palembang terlebih dahulu kemudian menetap di sana selama enam bulan untuk belajar tata bahasa. Sesudah itu, beliau pergi ke Melayu dan menetap di sana selama dua bulan. Setelah sepuluh tahun menuntut pelajaran di perguruan tinggi di Nalanda, beliau kembali ke Sriwijaya pada tahun 685. Setelah menetap di Sriwijaya selama empat tahun, beliau menyadari, bahwa beliau tidak akan dapat menyelesaikan penerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha yang ada di Palembang seorang diri. Oleh sebab itu, pada tahun 689, beliau pulang kembali ke Kanton dan kemudian kembali lagi ke Sriwijaya bersama dengan empat orang pembantu.

Selain itu, I-Tsing menulis tentang keadaan agama Buddha di India dan tentang cara hidup orang-orang Tionghoa yang pergi berziarah. Pada tahun 685, beliau pulang ke Kanton. Dari berita yang dibuat oleh I-Tsing, diperkirakan terdapat banyak kitab suci di Sriwijaya. Di Sriwijaya terdapat semacam perguruan tinggi agama Buddha. Beberapa tahun sebelum I-Tsing pergi, sekitar tahun 645 dan 660, ada seorang ahli agama Buddha Mahāyāna, bernama Dharmapala, yang sesudah tiga puluh tahun mengajar di perguruan tinggi di Nalanda, menjadi mahā guru di Sriwijaya. Dharmapala ini adalah seorang pengikut aliran Dignaga, yaitu seorang pemimpin terkenal dari salah satu mazhab agama Buddha Mahāyāna yaitu Yogacara.

Agama Buddha Mahāyāna yang terdapat di Jawa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Agama Buddha Mahāyāna yang terdapat di Sumatera. Nama Dignaga selalu disebut sebagai seorang ahli dalam Yoga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama Buddha yang masuk dan berkembang di Sriwijaya adalah agama Buddha yang diajarkan di Nalanda.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa yang lebih dahulu datang ke Indonesia adalah agama Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh Gunawarman. Bagaimanakah hubungan antara kedua aliran tersebut? Pendirian para bhikkhu pada waktu itu sangat luas, mereka berpendapat bahwa untuk memperdalam pandangan, janganlah hanya mempelajari buku-buku dan pandangan-pandangan aliran sendiri, tetapi harus pula memahami pandangan dan ilmu aliran lain. Dengan demikian, di Sumatera dan Jawa, aliran Mahāyāna dengan segera dapat "mendesak" aliran Hīnayāna. Tetapi perkataan “mendesak” di sini bukan berarti suatu pertentangan di antara kedua aliran, melainkan hubungan yang erat antara kedua aliran. Pada zaman I-Tsing, aliran Mahāyāna sudah mulai lebih besar pengaruhnya daripada aliran Hīnayāna.

Menurut I-Tsing, di Sriwijaya terdapat lebih dari seribu orang bhikkhu. Aturan-aturan upacara dan cara mereka belajar sama dengan yang dilakukan para bhikkhu di India. Namun bhikkhuni mempunyai pakaian yang lain, dan para bhikkhu selalu memakai sapu tangan. Suatu bukti bahwa pada zaman I-Tsing, pengaruh Mahāyāna sudah mulai berkembang, hal ini diketahui dari sebuah piagam di Talang Tua yang ada pada tahun 684. Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa baginda akan mempergunakan segala daya upaya bagi kepentingan segala mahluk. Kalau sudah mencapai kebahagiaan jasmani, maka akan dicapai kebahagiaan rohani, artinya dalam pikiran akan timbul bodhi, tidak terpisah dari Tri Ratna. Semua itu akan menyebabkan orang-orang dapat memiliki badan Ratna, yaitu Wajrasarira dan dapat menekan penjelmaan, menekan karma dan mencapai tujuan yang paling tinggi dan sempurna. Jadi, gambaran yang diberikan oleh I-Tsing dalam perjalanan ke India dan singgah di Sumatera, yaitu bahwa di Melayu hanya terdapat beberapa kaum Mahāyāna yang telah berkembang. Dari perkataan Wajrasarira, dapat disimpulkan bahwa Mahāyāna yang terdapat di sini adalah aliran Vajrayana. Di Jawa, Raja Kertanegara sendiri adalah seorang penganut aliran ini.

Setelah Sriwijaya menverang Jawa (Raja Dharmawangsa), perkembangan politik yang terjadi sama sekali berubah. Sriwijaya selalu mengadakan perhubungan balk dengan kerajaan


Kerajaan Sriwijaya Diserbu Kerajaan Cola

Colamandala terdapat di India Selatan, dipimpin oleh Rajaraja I. Keadaan berubah ketika Rajaraja I digantikan oleh Rajendracoladewa I. Raja ini tidak senang mengetahui Kerajaan Sriwijaya menguasai seluruh Selat Malaka. Kadara (Kedah) pada waktu itu menjadi kota dari Kerajaan Sriwijaya yang terbesar dan terpenting di Semenanjung Malaka. Rajendracoladewa mengirimkan armadanya untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan menguasai lalu lintas di Selat Malaka. Kejadian ini diterangkan dalam piagam di Tanjore yang ada pada tahun 1030. Tindakan Rajendracoladewa dimulai pada sekitar tahun 1023 dan berakhir pada tahun 1024. Dalam piagam itu, serangan tersebut diuraikan sebagai berikut : mula-mula ibukota diserang, kemudian rajanya ditangkap, lalu beberapa tempat yang penting di Sumatera diduduki. Tempat-­tempat itu adalah Melayu, Panai, dan Kadara (Kedah) di Semenanjung Malaka. Sesudah menduduki Kedah, sebelum pulang, mereka menduduki Lamuri (Aceh), termasuk kepulauan Nicobar.

Namun, empat tahun kemudian, Kerajaan Sriwijaya sudah dapat mengirimkan dutanya ke China, seakan-akan tidak ada suatu kejadian yang menimpa Kerajaan Sriwijaya. Keadaan tersebut dapat dimengerti karena ketika pasukan Cola kembali, mahkota kerajaan telah dikembalikan lagi kepada raja yang ditangkap, karena Raja Colamandala telah puas, jika Kerajaan Sriwijaya mau mengakui, bahwa Kerajaan Sriwijaya ada di bawah Colamandala.

Tetapi 50 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1068, Colamandala dibawah pimpinan Wirarajendra I, kembali menyerang Kerajaan Sriwijaya dan mengatakan bahwa Kadara telah diserbu. Serbuan ini ternyata tidak berarti bagi Kerajaan Sriwijaya yang tetap mengirimkan dutanya ke China. Segera sesudah itu, hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Colamandala baik kembali. Hal ini terbukti dari piagam yang terdapat pada tahun 1084, yang dibuat atas perintah seorang raja sesudah Wirarajendra, yang menerangkan bahwa atas permintaan raja Sriwijaya, diberikan kebebasan membayar pajak kepada sebuah desa yang telah dihadiahkan kepada tempat suci yang didirikan oleh Kerajaan Sriwijaya (sekarang disebut Negapatman).


Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya dan Timbulnya Kerajaan Melayu

Walaupun serbuan-serbuan Colamandala tidak menyebabkan Kerajaan Sriwijaya runtuh, namun terasa pengaruhnya terhadap Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Kerajaan Sriwijaya tidak dapat lagi mencapai kekuasaan seperti pada abad ketujuh, karena Melayu yang sejak abad ke-tujuh menjadi bawahannya, telah berdiri sendiri lagi. Demikian juga dengan bagian-­bagian lain di Semenanjung Malaka dan Sumatera yang mengasingkan diri dari Kerajaan Sriwijaya. Malik Al Saleh menjadi raja pertama di Samudera (Aceh) dan meninggal pada tahun 1396. Bahaya yang mengancam Kerajaan Sriwijaya bertambah ketika Kertanegara menyerbu Jambi pada tahun 1275 dan sejak itu Melayu (Jambi) menjadi daerah kekuasaannya. Pada tahun 1377 datanglah utusan terakhir yang menghabiskan Kerajaan Sriwijaya, tetapi dihalangi-halangi oleh Majapahit, bahkan utusan yang dikirim oleh China ke Sriwijaya ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang Majapahit. China tidak langsung mengajukan protes, tetapi meminta pertolongan kepada Siam supaya disampaikan kepada Majapahit. Majapahit pada waktu itu masih besar kekuasaannya sehingga ditakuti oleh negeri tetangganya. Kemudian Kerajaan Sriwijaya dilalaikan oleh Majapahit dan menjadi sarang perompak.

Titik berat politik Indonesia di bagian barat berpindah dari Sriwijaya ke Melayu, sedangkan di sebelah timur terletak di Majapahit. Melayu di sebelah barat menjadi kerajaan yang terbesar, sejak itu pula Melayu meliputi seluruh Sumatera. Kerajaan Melayu mempunyai pertalian saudara dengan Kerajaan Majapahit. Dengan bantuan dari Jawa, Kerajaan Melayu dibawah pemimpinan Mauliwarmadewa semakin mengembangkan sayapnya dan tidak dapat dihalangi-halangi oleh Kerajaan Sriwijaya. Mauliwarmadewa kemudian digantikan oleh Adityawarman yang sejak lahir hidup di istana Kerajaan Majapahit.

Tentara Kertanegara yang dikirim ke Melayu pulang ke Jawa Timur dengan membawa dua puteri Melayu, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Perkawinan ini melahirkan Jayanegara yang kelak menjadi pemimpin Kerajaan Majapahit. Puteri Dara Petak menikah dengan pendiri Kerajaan Majapahit (Raden Wijaya yang kemudian bergelar Kertajasa) dan kemudian terkenal dengan nama Indreswari. Sedangkan puteri Dara Jingga menikah dengan seorang bangsawan Majapahit dan memiliki putera yang bernama Adityawarman, yang kelak kembali ke Melayu menggantikan Mauliwarnadewa.

Dengan Adityawarman sebagai raja di Kerajaan Melayu, maka pertalian antara Melayu dan Majapahit makin teguh, karena pertalian itu adalah pertalian saudara. Selama Gajahmada memerintah, banyak bantuan yang diberikan oleh Adityawarman, di antaranya memadamkan pemberontakan Sadeng. Bukti bahwa Adityawarman ini sejak kecil ada di Majapahit adalah patung Manjusri yang dibangun atas perintah Adityawarman sendiri dan ditempatkan di Candi Jago. Manjusri sebagai Bodhisatta yang memerangi avijja (kebodohan) dianggap sebagai lambang atas riwayat hidup Adityawarman. Sejak kecil Adityawarman belajar (memerangi kebodohan) di Kerajaan Majapahit, sesudah dewasa baru menjadi raja di Melayu. Yang harus diperhatikan yaitu bahwa piagam di belakang patung menerangkan bahwa Adityawarman berbuat demikian hanya untuk orangtuanya. Jadi orangtua Adityawarman memang ada di Majapahit.

Pusat Kerajaan Melayu kemudian berpindah ke arah barat di daerah Minangkabau. Sejarah mengenai lenyapnya Kerajaan Melayu belum jelas, namun diperkirakan disebabkan oleh berkembangnya agama Islam, daerah-daerah pantai yang terlebih dahulu menganut Islam mulai mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri berdasarkan paham agama baru yaitu paham agama Islam, kemudian tidak lagi menghiraukan Kerajaan Melayu yang rajanya beragama Buddha, sama seperti yang terjadi dengan Kerajaan Majapahit.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
»»  READMORE...

Sejarah Agama Budha di Indonesia

Mataram
Piagam yang tertua yaitu sekitar tahun 732, ditemukan di desa Canggal, keresidenan Kedu. Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa, di dekat desa Salam, sebelah Selatan Muntilan, didirikan sebuah tempat suci yang berisi lingga. Sebagian dari piagam tersebut berbunyi seperti berikut ini :

"Putera Sanna yang mulia, dihormati oleh banyak sarjana yang selalu mengetahui inti sari kitab-kitab. Seorang. raja di puncak keberanian dan kebaikkannya yang seperti Raghu telah merampas beberapa daerah raja yang dekat. Baginda Raja Sanjaya, berseri sebagai matahari, terkenal hingga seluruh pelosok dunia, sekarang memerintah negara dalam persatuan yang tidak dapat dipecahkan bersama kakak perempuannya secara adil. Dan beliau sedang memerintah dunia yang bertali pinggang samudra berombak-ombak dan berdada gunung, dengan rakyat tiada takut akan penyamun dan bahaya lain, berbaring di tengah-tengah jalan raya hendak tidur. Dan orang-orang yang namanya sangat baik, memiliki yang baik, yang berguna dan yang enak dirasakan. Barangkali tidak berbuat lain dari pada menangis, karena tiada bagian yang ketinggalan baginya".

Dalam piagam disebutkan seorang kakak perempuan Sanjaya dan diterangkan pula keadaan tata tertib selama beliau memerintah. Semua itu, jika dihubungkan dengan keadaan Kalingga akan menimbulkan pertanyaan, adakah hubungan antara Kalingga dengan Sanjaya? Menurut Rouffaer, hubungan itu mungkin ada dan Sima itu barangkali seorang saudara perempuan Sanjaya yang ikut memerintah negara. Tetapi tidak ada informasi lain untuk membuktikan dugaan itu.

Tempat suci yang berisi lingga (salah sebuah lambang Siwa) di dekat Salam itu dapat dianggap sebagai tanda mendirikan suatu kerajaan yang disebut Mataram, karena raja ini (Sanjaya) di dalam piagam-piagam kemudian disebut "Rake Mataram". Mataram mula-mula merupakan nama daerah kecil yang diperintah oleh Sanjaya, yang kemudian dijadikan nama kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya.

Di dalam piagam-piagam itu diterangkan bahwa, pusat pemerintahan ada di Medangbhumi Mataram, tetapi dimana letak tempat ini, sampai sekarang masih belum diketahui.

Keadaan politik kerajaan ini sukar diketahui. Menurut cerita yang terdapat dalam "Cerita Parahyangan", Sanjaya banyak mengadakan peperangan dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya untuk meluaskan daerahnya, merampas Sriwijaya, bahkan hingga Kasmir di Birma, dan ke Timur hingga ke Bali. Berita itu perlu dibuktikan dengan bukti-bukti sejarah lebih lanjut.

Yang dapat diketahui dengan pasti yaitu, nama raja-­raja, arti beberapa candi, dan hadiah-hadiah berupa tanah kepada desa, biara, dan orang.
Pengganti Sanjaya adalah Pancapana, Rake Panangkaran. Gelar Rake Panangkaran lebih terkenal dari pada namanya, Pancapana. Sanjaya sendiri adalah penganut agama Brahma, sedangkan Pancapana adalah penganut agama Buddha, yaitu Mahāyāna.

Pada tahun 778, Pancapana mendirikan Candi Kalasan untuk memuji Dewi Tara, seorang Dewi dalam agama Buddha Mahāyāna. Menurut piagam, di candi itu ada patung Dewi Tara, tetapi patung itu telah hilang. Candi-candi lain dari zaman itu adalah Candi Borobudur (dekat Muntilan), Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Sari. Dinasti raja-raja Mataram ini disebut Sailendra. Bukti bahwa mereka berasal dari keturunan Sailendra terdapat dalam piagam yang berhubungan dengan Candi Kalasan, yang menyebut nama "Sailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rake Panangkaran".

Kerajaan Mataram mengadakan hubungan baik dengan Sriwijaya di Sumatera, dalam bidang politik dan kebudayaan. Raja-raja Sriwijaya juga berasal dari keturunan Sailendra.

Raja-raja yang menggantikan Raja Pancapana berturut-turut adalah Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Qatu Humalang dan akhirnya empat orang yaitu Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa. Keadaan politik pada waktu itu kurang jelas. Hanya dapat dikatakan bahwa Daksa mungkin telah mendirikan Candi Lara Jonggrang atau Candi Prambanan untuk menyimpan abu jenazah Balitung. Candi-candi lain yang dapat dihubungkan dengan Dinasti Sailendra adalah candi-candi yang terdapat di tanah datar, Dieng, dan Ungaran, yaitu Gedong Sanga. Walaupun tanah datar tinggi Dieng itu telah disebut-sebut dalam berita-berita yang didapat dari sumber-sumber dari China, tetapi candi tertua di Dieng dibuat pada tahun 809. Candi-candi lain adalah Candi Selagriya di lereng Gunung Sumbing dan Candi Pringapus di lereng Gunung Sindoro.

Sekitar waktu itulah agama Buddha Mahāyāna datang ke Indonesia dan seterusnya berkembang berdampingan dengan agama Siwa yang telah datang lebih dahulu. Penganti-pengganti Raja Pancapana, banyak yang memeluk agama Buddha dan Siwa.


Agama Buddha Mahāyāna

Pada mulanya, agama yang masuk ke In­donesia adalah agama Brahma, kemudian disusul oleh agama Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh Gunawarman, seorang ulama dari Kashmir. Selama tiga abad, agama Buddha Hīnayāna yang terkenal, salah satu penganutnya adalah Jnanabhadra, yang hidup pada abad ke-tujuh. Kemudian pada permulaan abad ke-delapan, antara tahun 700 dan 750, datanglah agama Buddha Mahāyāna. Raja Sanjaya adalah seorang penganut agama Siwa, sedang Raja Pancapana adalah penganut agama Bud­dha Mahāyāna. Kedua raja ini hidup pada permulaan abad ke-delapan. Agama Buddha Mahāyāna datang dari Benggala. Pada waktu itu, kota Nalanda di Benggala dengan perguruan tingginya menjadi pusat agama Buddha Mahāyāna. Banyak ulama dari sana datang ke In­donesia, terutama ke Sumatera dan Jawa. Tidak lama kemudian mereka sudah mendapat banyak pengikut di kedua pulau tersebut.


Sriwijaya

Di Sumatera terdapat sebuah kerajaan yang pada abad kelima berpusat di Palembang. Kemudian meluaskan jajahannya hingga Bangka dan semenanjung Malaya. Kerajaan ini mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan kerajaan Mataram yang diperintah oleh Dinasti Sailendra.

Para ahli sejarah berpendapat bahwa terdapat perselisihan antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mataram. Terdapat pendapat bahwa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diperintah oleh Raja Sanjaya, yang beragama Brahma, pada tahun 778 dirampas oleh Raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra yang beragama Buddha Mahāyāna, yaitu Raja Pancapana. Bukti-buktinya adalah pada waktu itu penulis-penulis sejarah bangsa Tionghoa tidak pernah menceritakan duta-duta yang datang dari Jawa Tengah. Ini menandakan bahwa Jawa Tengah sedang dibawah kekuasaan asing. Tetapi pendapat ini disangkal dengan alasan bahwa di Sumatera tidak terdapat candi-candi yang besar dari zaman Sailendra seperti yang terdapat di Jawa Tengah, misalnya Borobudur dan Kalasan. Selain itu, dalam piagam-piagam yang terdapat di Sumatera pada waktu itu terlihat bahwa bahasa Sansekerta telah terdesak oleh bahasa Melayu Kuno. Sedangkan piagam-piagam yang terdapat di Jawa Tengah pada waktu itu tertulis dalam bahasa Sansekerta. Huruf yang dipakai dalam piagam-piagam di sekitar pusat kerajaan Sriwijaya adalah huruf Pallawa, sedangkan yang dipakai di Jawa Tengah adalah huruf Nagari.

Karena raja-raja kerajaan Sriwijaya dan raja-raja kerajaan Mataram sama-sama berasal dari keturunan Sailendra, maka muncul pertanyaan, dari manakah keturunan Sailendra itu? Anggapan bahwa Dinasti Sailendra itu berasal dari Sumatera dan merampas Jawa Tengah dengan menaklukkan kerajaan Mataram adalah tidak benar. Anggapan bahwa kerajaan Sriwijaya dirampas oleh Sanjaya, keturunan Sailendra, juga belum dapat dibuktikan. Maka, disimpulkan bahwa hubungan yang ada itu mungkin disebabkan oleh pertalian saudara, misalnya perkawinan, jadi bukan karena pertempuran dan perampasan.

Pada tahun 891, seorang raja keturunan Sailendra dari kerajaan Sriwijaya, bernama Balaputra memberi perintah untuk membuat sebuah vihāra di dekat kota Nalanda bagi ulama-ulama dari Sumatera. Raja itu menyebut dirinya sebagai keturunan dari Sailendra di Jawa.


Gajayana

Menurut piagam yang terdapat di Dinava dekat Malang, di sana dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah, terdapat sebuah kerajaan yang menunjukkan pengaruh India. Rajanya yaitu Gajawana, memberi perintah untuk membuat piagam itu pada tahun 760. Ibukota kerajaan itu ada di sekitar Dinava. Piagam itu menerangkan suatu pendirian suci (tempat suci) untuk menghormati Agastya, yaitu seorang dewa yang mempunyai kedudukan di Selatan. Candi yang sekarang masih ada, yakni Candi Badut, terletak lebih kurang empat kilometer di sebelah barat kota Malang. Candi itu mempunyai sifat-sifat yang berhubungan dengan candi-­candi yang terdapat di Jawa Tengah.


Empu Sindok

Keadaan Kerajaan Mataram sesudah Raja Pancapana belum jelas, yang diketahui hanya daftar raja-raja yang memerintah secara berturut-turut.

Menurut Stutterheim, Raja Balitung bukan lagi seorang keturunan Raja Pancapana, tetapi mungkin orang Jawa Timur asli yang dapat memangku mahkota, mungkin karena perkawinan. Pengganti-pengganti Raja Balitung hingga Raja Tulodong masih tetap memerintah di Jawa Timur yaitu Raja Wawa. Nama Raja Wawa hanya terdapat di dalam piagam-piagam yang terdapat di Jawa Timur. Raja Wawa diganti oleh Empu Sindok yang mula-mula menjabat sebagai patih Wawa.

Empu Sindok memerintah antara tahun 929-947, bahkan mungkin lebih lama lagi. Empu Sindok adalah raja yang pertama kali menyebut "keraton raja-raja yang telah mangkat di Medang di Mataram" di dalam piagamnya.

Kerajaan Sindok meluas hingga Surabaya, Kediri, dan Pasuruan. Di bawah pemerintahannya yang lama itu, kerajaan mengalami kemakmuran dan kemajuan. Di dalam piagamnya diterangkan bahwa, Sindok telah mengalahkan banyak raja-raja sekitarnya dan namanya sangat terkenal.

Nama Sindok sebagai raja yaitu, Sri Maharaja Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Keturunannya memerintah hingga tiga abad lamanya. Sesudah beberapa tahun menjadi patih atau bendahara, maka beliau naik tahta. Yang menarik perhatian, adalah kesukaannya untuk mendirikan tempat-tempat suci. Ini terbukti dari piagam-piagam yang ada, yang menerangkan tentang hadiah­-hadiah kepada agama Buddha Mahāyāna. Karena berjasa, maka nama Sindok disebut dalam kitab suci Mahāyāna yaitu Sang Hyang Kamahayanikan.

Sindok tidak memerintah seorang diri, tetapi bersama dengan Parameswarinja, putera seorang bangsawan yang berpangkat tinggi, bernama Rakrvan Bavsang. Ini menunjukkan kedudukan kaum ibu yang tinggi pada waktu itu.

Sindok memiliki puteri yang bernama Sri Isanatunggawijaya, yang menggantikan ayahnya sebagai raja perempuan. Suaminya bernama Lokapala. Sri Isanatunggawijaya digantikan oleh puteranya yang bernama Makutawangsawardhana, yang digantikan lagi oleh puteranya yaitu Mahendratta, seorang putri. Mahendratta bersuamikan seorang Raja Bali, Dharmodayana dan mempunyai putera bernama Erlangga.

Mahendratta dan Dharmodayana tidak memerintah di Jawa Timur, tetapi di Bali. Mereka ada di bawah kekuasaan Makutawangsawardhana dan Dharmawangsa yang memerintah di Jawa Timur.

Sejak Makutawangsawardhana, keturunan Sindok tidak lagi memeluk agama Buddha Mahāyāna - melainkan Hindu (Wishnu).


Dharmawangsa

Sesudah Makutawangsawardhana, yang berkuasa di Jawa Timur adalah putera-puteri Makutawangsawardhana, yaitu Mahendratta yang bersuamikan Dharmodhyana, berkedudukan di Bali, sehingga tidak berkuasa di Jawa Timur.

Siapakah Dharmawangsa dan bagaimanakah hubungannya dengan Makutawangsawardhana dan Mahendratta? Mungkin beliau adalah putera Makutawangsawardhana atau saudara laki­ laki Mahendratta. Tetapi pendapat lain menyatakan bahwa Dharmawangsa bukan keturunan Sindok. Dharmawangsa adalah raja yang paling terkenal, baik dalam bidang politik maupun kebudayaan. Beliau bukan raja yang suka damai. Beliau senantiasa mencoba meluaskan daerahnya. Pada tahun 977, beliau mencoba merampas Wuri-Wara yang terletak. di semenanjung Malaya, pada tahun 992 beliau menyerang Kerajaan  Sriwijaya di Palembang. Mengapa Dharmawangsa berbuat demikian?

Pada waktu itu Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keturunan Sailendra, sangat berkuasa, menguasai seluruh pantai Timur Sumatera, pulau-pulau yang ada didekatnya dan semenanjung Malaya. la berhasil memerangi Kamboja dengan baik sehingga menguasai seluruh lautan Tiongkok Selatan. Kerajaan Sriwijaya juga mengadakan hubungan dengan India. Hubungan itu tidak hanya disebabkan oleh perdagangan, tetapi juga agama. Di Sriwijaya berkembang agama Buddha Mahāyāna. Banyak pelajar-pelajar dari Sumatera pergi ke perguruan tinggi di Nalanda di Benggala. Kerajaan ini terkenal hingga negeri Arab. Pada waktu itu, Sumatera terkenal sebagai negeri timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kapur barus yang diperdagangkan di seluruh Asia. Pada waktu itu, di sebelah Barat, perdagangan berpusat di Kanbay di Gujarat, sedangkan di Timur berpusat di Kanton. Sumatera terletak di tengah-tengah perjalanan antara kedua tempat tersebut, sehingga Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi sangat besar. Pada tahun 971, ketika Tiongkak sudah kembali damai dan aman, kota Kanton dibuka oleh raja pertama dari keturunan Sung untuk perdagangan, pedagang-pedagang yang selalu datang ke Kanton yaitu dari daerah Kedah, di Semenanjung Malaya, dari Philipina, Kalimantan Barat, dan Sriwijaya.

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu menghalangi berkembangnya Kerajaan Dharmawangsa. Sesudah menguasai Kalimantan Barat, Dharmawangsa hendak mengadakan serangan terhadap Sriwijaya, tidak diketahui bagaimana akhir dari serangan itu. Hingga pada tahun 992, utusan yang ada di Tiongkok mendapat kesukaran untuk kembali ke Sumatera. Pembalasan atas perbuatan Dharmawangsa akan diketahui kemudian.

Dalam bidang kebudayaan, Dharmawangsa juga sangat giat. Dharmawangsa memerintahkan untuk menyusun undang-undang dan mempelajari kesusasteraan. Buku bahasa Sansekerta diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, isinya terbuka bagi rakyat Indonesia. Hal itu sangat berarti, karena sebelum pemerintahan Dharmawangsa, segala sesuatu dari India hanya dapat diketahui oleh mereka yang pandai bahasa Sansekerta, terutama para brahmana. Setelah pemerintahan Dharmawangsa, isi Mahabrata dapat diketahui oleh setiap orang.


Erlangga

Erlangga mula-mula ada di Bali bersama dengan orangtuanya yaitu Mahendratta dan Dharmodayana (Udayana), tetapi sesudah menikah dengan putera-puteri Dharmawangsa, beliau menetap di Jawa Timur, di istana mertuanya dengan suatu pangkat, Erlangga dicalonkan untuk menggantikan mertuanya. Akan tetapi, sebelum dapat menjadi raja, Erlangga harus mengalami kesulitan-­kesulitan terlebih dahulu. Kesulitan-kesulitan itu adalah akibat perbuatan Dharmawangsa sendiri. Kerajaan Sriwijaya tidak lupa akan serangan yang dilakukan oleh Dharmawangsa kepada Kerajaan Sriwijaya pada tahun 992 sehingga Kerajaan Sriwijaya berniat untuk membalas dendam. Dengan bantuan banyak raja yang tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya, pembalasan dendam itu berjalan baik. Erlangga baru berumur 13 tahun dan hidup di dalam istana, tiba-tiba datanglah serbuan musuh dari luar, membunuh semua yang ada di keraton. Musuh yang menyerbu itu terkenal sebagai Raja Wura-Wari. Di mana letak kerajaannya masih belum diketahui. Mungkin di Jawa atau di Malaka yaitu Ganggayu, sedangkan ibu kota lwaram, terletak di Johor.

Raja Dharmawangsa meninggal dalam pertempuran. Keraton sudah dibakar habis, ditinggalkan oleh musuh dengan hanya diikuti oleh beberapa pegawai istana yang setia di antaranya Narottama, Erlangga bersembunyi di daerah Wonogiri. Banyak rintangan yang harus diatasi oleh Erlangga dalam perjalanan itu. Akhirnya ia mendapat perlindungan dari para pertapa dan para Paderi. Erlangga harus bersembunyi cukup lama dan selama itu tidak diketahui apa yang akan terjadi dengan dirinya, banyak pertolongan yang diperoleh Erlangga dari para pertapa, dan untuk menyatakan rasa terima kasihnya, Erlangga berjanji akan mendirikan bangunan-bangunan bagi kepentingan para pertapa. Janji itu kemudian benar-benar dipenuhi.

Musuh yang menyerang Dharmawangsa dari luar itu adalah Kerajaan Sriwajaya, tetapi bukan dilakukan sendiri oleh Kerajaan Sriwijaya. Di dalam piagam yang berhubungan dengan kejadian itu, disebutkan seorang raja dari Wura-wari.

Merupakan keberuntungan bagi Erlangga, karena Kerajaan Sriwijaya mengalami masalah sesudah membinasakan Kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1023-1024, Kerajaan Sriwijaya tiba-tiba diserang oleh Raja Rajendra dari Colamandala (India). Pada waktu itu Raja Rajendra memang berniat untuk menguasai jalan perdagangan melalui selat Malaka dengan menaklukkan raja-raja di sekitar selat itu dan di sepanjang pantai Benggala. Walaupun telah mendapat pukulan yang hebat, keturunan Sailendra masih dapat melanjutkan Kerajaan Sriwijaya hingga tiga abad lamanya.

Di dalam pengasingan itu, Erlangga selalu melatih diri baik rohani maupun jasmani. Hidup bertapa dengan aturan-aturan yang diberikan oleh para Paderi menurut ajaran kaum Brahma, dijalankan oleh Erlangga dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, hasrat yang besar dan kuat terbentuk di dalam sanubari Erlangga, hasrat untuk mencapai cita-citanya. Tetapi menurut para ulama pada waktu itu, latihan itu artinya lebih dari sekedar untuk memperbesar dan memperkuat kemauan atau hasrat saja. Menurut pendapat mereka, dengan latihan itu, Erlangga mencapai kesaktian untuk berbuat sesuatu yang aneh yang tidak bisa dikerjakan oleh orang biasa, hanya dengan kesaktian itulah Erlangga akan dapat menjadi raja besar dan mulia.

Setelah mengalahkan beberapa musuh, Erlangga menjadi raja pada tahun 1010. Tetapi penobatan resmi baru dilakukan pada tahun 1019, dilaksanakan oleh para ulama Buddha, Siwa, dan Kaum Brahma. Beliau mendapat gelar resmi Sri Maharaja Rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Anantawikrama-tunggadewa.

Mula-mula daerah kekuasaan Erlangga cukup terbatas. Beliau hanya memerintah daerah kecil dengan Surabaya. Kesempatan baik dipergunakan oleh Erlangga setelah penyerbuan terhadap Kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Raja Rajendra dari Colamandala. Pada tahun 1030 Erlangga berusaha mengalahkan Kerajaan Wengker (Panaraga), tetapi belum berhasil. Maka beliau terlebih dahulu menaklukan raja-raja yang lain, di antaranya adalah raja-raja di Mahasin dan tempat-tempat lain, misalnya Barat dan Galuh, tetapi di mana letak tempat-­tempat itu sekarang tidak dapat diketahui. Pada tahun 1032, semua raja-raja di sekitarnya menyerah. Erlangga mulai lagi menyerang Kerajaan Wengker dengan rajanya yang bernama Wijaya. Sesudah tiga tahun lamanya berperang, Raja Wijaya tertangkap dan dibunuh (tahun 1035). Tetapi dua tahun kemudian, pada tahun 1037, Erlangga baru dapat menguasai seluruh Jawa Timur. Erlangga tidak meluaskan daerahnya lebih daripada Jawa Timur. Erlangga mengadakan hubungan persahabatan dengan Kerajaan Sriwijaya dan persahabatan itu bertambah erat dengan perkawinan seorang raja Sumatera dengan seorang puteri Jawa Timur. Walaupun kerajaan Erlangga hanya terbatas kepada Jawa Timur saja, tetapi namanya sangat terkenal dan pengaruhnya diakui hingga luar Jawa Timur.

Tidak diketahui secara pasti di mana letak keraton Erlangga. Mula-mula istananya (tahun 1021) di Wawatan Mas, kemudian (tahun 1037) di Kahuripan. Perhatian dan usaha Erlangga tidak terbatas begitu saja. Kemakmuran negara dan rakyat selalu menjadi perhatiannya. Hal ini terbukti dari usahanya menolong rakyat di dekat Wringin Sata (sekarang tempat itu dinamakan Wringin Pitu) yang sangat menderita oleh karena tertimpa bencana yang disebabkan oleh air bah dari sungai Brantas di tempat-tempat tersebut, sehingga penduduk tidak dapat membayar pajak. Dengan bantuan Erlangga, maka tanggul yang bobol tersebut dapat diperbaiki lagi, sehingga banyak desa dan tanah terhindar dari bencana air. Dan pedagang-­pedagang di Hujung Galuh (Surabaya) tidak lagi terganggu oleh naik turunnya air di sungai Berantas serta lebih memudahkan lalu lintas di sungai.

Kesusasteraan Indonesia pada waktu itu mulai berkembang. Tulisan yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa, berupa Kakawin. Ceritanya diambil dari Mahabrata. Arjuna Wiwaha itu merupakan lambang riwayat hidup Erlangga.


Kertanegara

Kertanegara adalah keturunan Ken Arok yang mendirikan Kerajaan Singosari, yang riwayatnya diuraikan dalam kitab-kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Beliau adalah raja yang pertama yang menguasai Panjalu dan Janggala, yang kemudian  disatu kembali setelah dipecah oleh Erlangga.

Setelah mengadakan konsolidasi di lingkungan kerajaan, Kertanegara mulai mengirimkan tentaranya ke luar Jawa seperti ke Bali (tahun 1284) dan Malayu, Batanghari dan Pagaruyung (tahun 1275). Kerajaan Sriwijaya di Palembang kelihatannya membiarkan tindakan Kertanegara di Sumatera. Beberapa bukti tentang ekspedisi Kertanegara ke Sumatera tersebut misalnya piagam pada sebuah patung Amoghapasa berangka tahun 1286 di Padang Roco (hulu sungai Jambi).

Kertanegara juga mengadakan hubungan dengan kerajaan di Indocina yaitu Jaya Simhawarman III (Raja Campa) berdasarkan piagam Annam berangka tahun 1306. Dijelaskan dalam piagam tersebut bahwa Jaya Simhawarman III mempunyai dua orang istri dan menurut penelitian, salah satu di antaranya adalah saudara Raja Kertanegara.

Kekuasaan dinasti Mongol di China di bawah Kubhilai Khan meluaskan pengaruh ke arah Selatan (Campa, Annam, dan Indo­nesia). Sejak tahun 1280 utusan China sudah datang ke Singosari dan minta kepada Raja Kertanegara untuk mengakui China. Raja Kertanegara mengulur diplomasi dan terjadi krisis pada tahun 1829 di mana wajah Mengki (utusan Kubhilai Khan) dilukai. Tentara China dikirim ke Singosari pada tahun 1292 untuk menghukum Raja Kertanegra, tetapi Raja Kertanegara sudah meninggal dunia karena pemberontakan oleh yang dilakukan oleh Jayakatwang.

Kedatangan tentara China yang tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Singosari itu kemudian "dimanfaatkan" oleh Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan seorang menantu Raja Kertanegara, untuk memukul kembali Jayakatwang.

Kitab Pararaton menggambarkan Raja Kertanegara dengan cara yang bertolak belakang dengan kitab-kitab Negarakertagama. Pada zaman Kertanegara diakui dua agama resmi yang masing-masing dikepalai oleh seorang dharmadhyaksa. Selain mereka, juga dikenal seorang Paderi istana dengan gelar Mahabrahmana yang memahami isi kitab Reg-Veda. Abu Kertanegara disimpan di Candi Jawi yang terdiri dari dua bagian, bagian atas tempat arca Akshobhya dan bagian bawah tempat arca Siwa. Candi ini rusak pada tahun 1331 karena sambaran petir.

Dalam prasasti Joko Dolog di Surabaya, disebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah penulis kitab Rajapati Gundala yang berisi aturan agama untuk Yogiswara (yang menjalankan yoga). Agama Buddha yang dianut Kertanegara adalah aliran Tantra (Bhairawa), beliau menerima penahbisannya dan sekaligus dianggap sebagai Jina Mahashobhya. Patung Joko Dolog tersebut dimaksudkan untuk menawarkan pengaruh kesaktian Empu Barada yang membagi dua Kerajaan Erlangga.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
»»  READMORE...

Sejarah Masuknya Agama Buddha ke Indonesia

Belum diketahui secara pasti kapan pertama kali Ajaran Buddha masuk ke Indonesia, walaupun nama Pulau Jawa sebagai "Labadiu" telah dikenal oleh Ptolemi, seorang ahli ilmu bumi di Iskandariah pada tahun 130 M. Demikian juga di dalam kitab Ramayana yang mengatakan bahwa Hanoman datang ke Javadwipa mencari Dewi Sinta, dikatakan terdapat tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya dengan tambang-tambang emas, tetapi tidak menyebut agama yang terdapat di sana.

Pada abad pertama masehi sudah dikenal "Javadwipa"yang meliputi Jawa dan Sumatera sekarang. "Suvarnadwipa" adalah nama untuk Pulau Sumatera. Dapat disimpulkan bahwa sebelum abad kedua masehi, sudah terdapat hubungan antara India dengan kepulauan Nusantara.

Kedatangan Fa-Hien pada tahun 414 M ke Pulau Jawa dalam perjalanan kembali ke China melalui laut (berangkat melalui jalan darat) setelah mengunjungi India selama enam tahun, telah membuka sedikit tabir kegelapan mengenai kehidupan agama di Pulau Jawa.  Beliau tinggal 5 bulan di Pulau Jawa dan dalam catatannya mengatakan bahwa banyak terdapat penganut agama Brāhmaa, yang jauh berbeda (dari yang di India), tetapi sedikit penganut ajaran Buddha dan tidak menarik untuk dicatat.

Atas usaha Bhikku Gunawarman pada tahun 423 M, ajaran Buddha berkembang di Jawa. Gunawarman adalah putera Raja Kashmir yang melepaskan tahta untuk menjadi bhikkhu. Awalnya beliau pergi ke Sri Langka dan kemudian ke She-Po (Jawa) dan berhasil mengembangkan ajaran Buddha di sana.

Sementara itu keadaan ajaran Buddha di Sumatera masih belum diketahui. Setelah kedatangan I-Tsing pada tahun 671 M dan pada tahun 688-695 M mulai tersingkap keadaan ajaran Buddha di Sumatera. Beliau datang ke Sribhoja, ibukota kerajaan Bhoja dekat Palembang. Beliau mengatakan bahwa "Raja dari Kerajaan Bhoja dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut ajaran Buddha.

Sribhoja merupakan pusat terpenting di mana Dhamma dipelajari. Di kota itu terdapat 1000 bhikkhu yang mempelajari dan menelaah Dhamma, sama seperti yang diajarkan di India. Di kerajaan Bhoja dan di kepulauan sekitarnya, sebagian besar adalah penganut aliran Mūlasarvāstivāda, sebagian kecil adalah penganut aliran Sammitiya dan dua aliran lain yang baru berkembang, sedangkan di Melayu terdapat sedikit penganut Mahāyāna. Semua aliran-aliran di atas tergolong aliran Hīnayāna.
Ini merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha telah masuk jauh sebelum abad ke VII Masehi yang dikembangkan oleh dhammadūta-dhammadūta dari aliran Sarvāstivāda, yang diduga berasal dari India Utara (Kashmir). Tetapi hal itu juga merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha Mahāyāna telah berkembang di Melayu, sewaktu I-Tsing datang ke Sumatera.

Mahāyāna awalnya masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa dan ke Kamboja (Kmer). Sriwijaya adalah penganut ajaran Buddha dan mengembangkan aliran Mahāyāna di daerah yang mereka kuasai. Pada tahun 759 M kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Thailand Selatan yang sekarang disebut Suratani (Suratradhani) dan Pattani.

Bentuk bangunan candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya masih ada sampai sekarang, arca-arca Buddha dan Bodhisatta mirip dengan yang terdapat di Jawa, misalnya Vihāra Mahādhatu di Jawa dan Vihāra Mahādhatu di Nakorn Si Thamarat (Nagara Sirī Dhammarāja).

Catatan sejarah dari Tibet menyatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke II merupakan pusat kegiatan ajaran Buddha yang terkemuka. Atissa yang sangat terkenal, pembangkit kembali Ajaran Buddha di Tibet, dikatakan pernah datang (dari India) ke Sumatera dan berdiam disana dari tahun 1011-1023, belajar di bawah bimbingan Bhikkhu Dharmakīrti, seorang Bhikkhu yang terkemuka di Sumatera. Dalam biografi Atissa yang ditulis di Tibet, disebutkan bahwa Sumatera merupakan pusat utama ajaran Bud­dha dan Bhikkhu Dharmakīrti adalah sarjana terbesar di zaman itu.

Kedatangan para dhammadūta ke Indonesia mendorong banyak orang pergi ke India, mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat ajaran Buddha seperti Universitas Nalanda di Bihar yang didirikan oleh dinasti Gupta (320-606). Peziarah yang datang dari Sriwijaya tinggal dan menetap di sana demikian banyaknya, sehingga dibuatkan Vihāra khusus dekat Nalanda dan Nagapattanam untuk mereka dan raja setempat (Raja Pala dan Cola) memerintahkan rakyatnya untuk memberi bantuan. Setelah kembali ke Indonesia, mereka mendirikan candi-candi dengan bentuk dan ukiran yang bercorak Indonesia.

Mengenai perguruan tinggi ajaran Buddha di Nalanda tersebut dapat ditambahkan bahwa berdasarkan berita-berita yang dibuat oleh Bhiku Huan Tsang yang berkunjung ke India pada tahun 629-645, dikatakan bahwa pada abad ke-7 tersebut Nalanda telah berkembang sebagai lembaga pendidikan intelektual. Nalanda di bawah pimpinan Silabadra tidak saja memberikan pelajaran ajaran Buddha, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab Veda, filsafat Hindu, logika, tata bahasa, dan pengobatan. Kemudian diberitakan bahwa Nalanda mempunyai pendukung dāna yang besar, yang dikumpulkan dari 100 desa, termasuk dāna dari Raja Harsha pribadi, untuk mendidik 10.000 siswa (tanpa bayaran). Nalanda juga mempunyai staf yang banyak serta kompleks bangunan yang luas seperti yang terlihat dalam reruntuhannya (karena serbuan bangsa Hun dan masuknya agama Islam ke India).

Dalam pemberitaannya, Bhiku Huan Tsang juga menyebutkan bahwa beliau mendapatkan ajaran Buddha Hīnayāna yang sudah menyurut di India dan hanya sedikit dijumpai di bagian barat India. Pada masa itu pengaruh ajaran Tantra sudah meluas ke India, termasuk dalam lingkungan pendidikan di Nalanda.

Candi-candi dan ukiran yang ada di Indonesia membuktikan bahwa pembuatnya bukanlah orang asing yang berkebudayaan asing, melainkan orang Indonesia asli dengan mempergunakan latar belakang kehidupan masyarakat dan kebudavaan asli. Diantaranya terdapat candi Pawon, candi Kalasan, candi Sari, candi Sewu, candi Plaosan, candi Mendut, candi Borobudur, candi Pogo, candi Singosari, dan lain-lain serta beberapa candi Hindu (Siwa, Brahmana, dan Wisnu).

Nenek moyang bangsa Indonesia adalah seniman religi yang besar, hal ini terlihat juga dari puji-pujian yang diberikan oleh ahli-ahli purbakala dari Barat. Menurut C. Elliot (Hinduism and Buddhism Vol. IL 170), banyak relief-relief, terutama di candi Panataran tidak terlihat adanya pengaruh India, walaupun tidak tepat namun dapat dikatakan mempunyai ciri khas Polynesia. Keistimewaan arca-­arca di Indonesia terletak pada kehalusan dan keindahan wajah­-wajah dari pribadi yang dipatungkan. Di antara arca-arca yang ditemukan di India sulit dijumpai yang memiliki keindahan dan kehalusan seperti arca Avalokitevara di candi Mendut, arca Manjusri yang sekarang disimpan di Museum Berlin atau seperti arca Prajāpāramitā yang sekarang ada di Leiden.

Prof. Dr. A.J. Bernet Kempres, bekas Direktur Dinas Purbakala Indonesia mengatakan bahwa gambaran dan susunan ketiga arca dalam candi Mendut merupakan suatu manifestasi alam pikiran dan kesenian Buddhis yang terbesar. Menurut pendapatnya, sangat sedikit kelompok arca dimanapun dari negara buddhis yang dapat menandinginya.

Bentuk ajaran Buddha semula di pulau Jawa adalah Hīnayāna, yang dikembangkan oleh Bhikkhu Gunawarman, namun ajaran tersebut lama kelamaan terdesak oleh aliran-aliran lain yang terus menerus masuk setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan didirikannya candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Tara (personifikasi dari Prajāpāramitā menurut aliran Tantra), yang tercatat pada tahun 778 M.

Hubungan kebudayaan antara India dan Indonesia itu menyebabkan masuknya aliran-aliran lain dari ajaran Buddha, terutama yang telah berkembang di Bengal, yaitu Tantrayāna yang berpusat di Universitas Nalanda. Aliran tersebut mula-mula masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa. Di antara aliran yang masuk tersebut, terdapat aliran Tantrayāna, terutama menjelang hancurnya Uni­versitas Nalanda,.

Kitab-kitabnya masih terdapat pada masa sekarang, seperti Sang Hyang Kamahayanikan. Sang Hyang Kamahayanikan menguraikan ajaran Mahāyāna dan Tantrayāna dengan baik. Dari catatan epigraphic diketahui, bahwa salah seorang dari Raja Sailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negeri Gauda (Bengal). Hal tersebut menyebabkan berkembangnya Tantrayāna di Jawa.

Demi baktinya kepada guru, salah seorang Raja Sailendra mempersembahkan candi untuk pemujaan Dewi Tara yang sekarang disebut candi Kalasan, yang konstruksinya sama dengan candi-candi yang terdapat di Kamboja.

Agama Hindu yang datang ke Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan Siwa. Tetapi oleh karena data-data mengenai awal zaman Hindu - Jawa ini tidak lengkap, maka sulit untuk mengetahui penyembah Siwa seperti apa yang mula-mula datang ke Indonesia. Karena terdapat banyak aliran agama Siwa, di antaranya aliran Pasupata, aliran Kalamukha, aliran Linggayat, aliran Saiwa Sindhata, dan lain-lain. Pada zaman berikutnya, tampaknya aliran Saiwa Sidhanta yang semakin berpengaruh di Jawa. Hal ini dapat diketahui dari perpustakaan Hindu-Jawa yang hingga kini masih ada. Seperti salah satu naskah yang bernama Bhuwanakosa, menyebutkan "Jnana siddhanta sastram".

Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah agama Siwa yang telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yang mengajarkan penjelmaan atau penumbuhan Brahman (zat pertama, asas segala sesuatu) dalam beberapa tingkatan, dari tingkatan yang halus hingga yang kasar. Penjelmaan atau penumbuhan ini dimungkinkan karena adanya kesaktian atau daya kekuatan atau kuasa yang dinamis di dalam Brahman itu.

Disamping agama Siwa, ajaran Buddha juga datang ke In­donesia. Meskipun ajaran Buddha yang datang adalah dari aliran Hīnayāna, namun pada abad ke-8, aliran Mahāyāna yang menjadi lebih berpengaruh di Jawa. Dapat dikatakan bahwa di Jawa sampai akhir zaman Hindu, terdapat dua agama negara yang diakui, yaitu agama Siwa dan ajaran Buddha Mahāyāna.

Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira pertengahan abad ke-15 M, kepustakaan Hindu-Buddha di Jawa mengalami zaman emasnya. Naskah-naskah agama Siwa yang menjadi sumber pengetahuan tentang ajaran kepercayaan Hindu-Jawa menerbitkan buku-buku pegangan bagi pelaksanaan yoga dalam agama Siwa, yang bermaksud untuk memberi sarana yang cocok kepada para murid supaya dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, dengan Siwa.

Naskah-naskah ajaran Buddha Mahāyāna menyebut dirinya sebagai buku-buku pelajaran ajaran Buddha dari aliran Mantrayāna, yaitu suatu aliran Mahāyāna yang mementingkan mantra-mantra sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan. Juga terdapat sebuah buku yang berisi suatu amanat yang diberikan oleh seorang guru kepada seorang murid setelah upacara penahbisannya.

Demikianlah keadaan kepustakaan Hindu-Jawa pada zaman Siwa dan zaman Buddha Mahāyāna menguasai Jawa.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
»»  READMORE...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More