Mataram
Piagam yang
tertua yaitu sekitar tahun 732, ditemukan di desa Canggal, keresidenan Kedu.
Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa, di dekat desa Salam, sebelah Selatan
Muntilan, didirikan sebuah tempat suci yang berisi lingga. Sebagian dari piagam
tersebut berbunyi seperti berikut ini :
"Putera
Sanna yang mulia, dihormati oleh banyak sarjana yang selalu mengetahui inti
sari kitab-kitab. Seorang. raja di puncak keberanian dan kebaikkannya
yang seperti Raghu telah merampas beberapa daerah raja yang dekat. Baginda Raja
Sanjaya, berseri sebagai matahari, terkenal hingga seluruh pelosok dunia, sekarang
memerintah negara dalam persatuan yang tidak dapat dipecahkan bersama kakak
perempuannya secara adil. Dan beliau sedang memerintah dunia yang bertali
pinggang samudra berombak-ombak dan berdada gunung, dengan rakyat tiada takut
akan penyamun dan bahaya lain, berbaring di tengah-tengah jalan raya hendak
tidur. Dan orang-orang yang namanya sangat baik, memiliki yang baik, yang
berguna dan yang enak dirasakan. Barangkali tidak berbuat lain dari pada
menangis, karena tiada bagian yang ketinggalan baginya".
Dalam piagam disebutkan
seorang kakak perempuan Sanjaya dan diterangkan pula keadaan tata tertib selama
beliau memerintah. Semua itu, jika dihubungkan dengan keadaan Kalingga akan menimbulkan
pertanyaan, adakah hubungan antara Kalingga dengan Sanjaya? Menurut Rouffaer,
hubungan itu mungkin ada dan Sima itu barangkali seorang saudara perempuan
Sanjaya yang ikut memerintah negara. Tetapi tidak ada informasi lain
untuk membuktikan dugaan itu.
Tempat
suci yang berisi lingga (salah sebuah lambang Siwa) di dekat Salam itu dapat
dianggap sebagai tanda mendirikan suatu kerajaan yang disebut Mataram, karena
raja ini (Sanjaya) di dalam piagam-piagam kemudian disebut "Rake
Mataram". Mataram mula-mula merupakan nama daerah kecil yang diperintah
oleh Sanjaya, yang kemudian dijadikan nama kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya.
Di dalam
piagam-piagam itu diterangkan bahwa, pusat pemerintahan ada di Medangbhumi
Mataram, tetapi dimana letak tempat ini, sampai sekarang masih belum diketahui.
Keadaan
politik kerajaan ini sukar diketahui. Menurut cerita yang terdapat dalam
"Cerita Parahyangan", Sanjaya banyak mengadakan peperangan dengan kerajaan-kerajaan
sekitarnya untuk meluaskan daerahnya, merampas Sriwijaya, bahkan hingga Kasmir
di Birma, dan ke Timur hingga ke Bali. Berita itu perlu dibuktikan dengan
bukti-bukti sejarah lebih lanjut.
Yang
dapat diketahui dengan pasti yaitu, nama raja-raja, arti beberapa candi, dan
hadiah-hadiah berupa tanah kepada desa, biara, dan orang.
Pengganti
Sanjaya adalah Pancapana, Rake Panangkaran. Gelar Rake Panangkaran lebih
terkenal dari pada namanya, Pancapana. Sanjaya sendiri adalah penganut agama Brahma,
sedangkan Pancapana adalah penganut agama Buddha, yaitu Mahāyāna.
Pada
tahun 778, Pancapana mendirikan Candi Kalasan untuk memuji Dewi Tara, seorang
Dewi dalam agama Buddha Mahāyāna. Menurut piagam, di candi itu
ada patung Dewi Tara, tetapi patung itu telah hilang. Candi-candi lain
dari zaman itu adalah Candi Borobudur (dekat Muntilan), Candi Mendut, Candi
Sewu, Candi Plaosan dan Candi Sari. Dinasti raja-raja Mataram ini disebut
Sailendra. Bukti bahwa mereka berasal dari keturunan Sailendra terdapat dalam
piagam yang berhubungan dengan Candi Kalasan, yang menyebut nama
"Sailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rake Panangkaran".
Kerajaan
Mataram mengadakan hubungan baik dengan Sriwijaya di Sumatera, dalam bidang
politik dan kebudayaan. Raja-raja Sriwijaya juga berasal dari keturunan
Sailendra.
Raja-raja
yang menggantikan Raja Pancapana berturut-turut adalah Panunggalan, Warak,
Garung, Pikatan, Kayuwangi, Qatu Humalang dan akhirnya empat orang yaitu
Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa. Keadaan politik pada waktu itu kurang
jelas. Hanya dapat dikatakan bahwa Daksa mungkin telah mendirikan Candi Lara
Jonggrang atau Candi Prambanan untuk menyimpan abu jenazah Balitung. Candi-candi
lain yang dapat dihubungkan dengan Dinasti Sailendra adalah candi-candi yang
terdapat di tanah datar, Dieng, dan Ungaran, yaitu Gedong Sanga. Walaupun tanah
datar tinggi Dieng itu telah disebut-sebut dalam berita-berita yang didapat
dari sumber-sumber dari China, tetapi candi tertua di Dieng dibuat pada tahun
809. Candi-candi lain adalah Candi Selagriya di lereng Gunung Sumbing dan Candi
Pringapus di lereng Gunung Sindoro.
Sekitar waktu
itulah agama Buddha Mahāyāna datang ke Indonesia dan
seterusnya berkembang berdampingan dengan agama Siwa yang telah datang
lebih dahulu. Penganti-pengganti Raja Pancapana, banyak yang memeluk agama
Buddha dan Siwa.
Agama Buddha
Mahāyāna
Pada
mulanya, agama yang masuk ke Indonesia adalah agama Brahma, kemudian
disusul oleh agama Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh
Gunawarman, seorang ulama dari Kashmir. Selama tiga abad, agama Buddha
Hīnayāna yang terkenal, salah satu penganutnya adalah Jnanabhadra,
yang hidup pada abad ke-tujuh. Kemudian pada permulaan abad ke-delapan, antara
tahun 700 dan 750, datanglah agama Buddha Mahāyāna. Raja
Sanjaya adalah seorang penganut agama Siwa, sedang Raja Pancapana adalah
penganut agama Buddha Mahāyāna. Kedua raja ini hidup pada
permulaan abad ke-delapan. Agama Buddha Mahāyāna datang dari
Benggala. Pada waktu itu, kota Nalanda di Benggala dengan perguruan tingginya
menjadi pusat agama Buddha Mahāyāna. Banyak ulama dari
sana datang ke Indonesia, terutama ke Sumatera dan Jawa. Tidak lama kemudian
mereka sudah mendapat banyak pengikut di kedua pulau tersebut.
Sriwijaya
Di
Sumatera terdapat sebuah kerajaan yang pada abad kelima berpusat di Palembang.
Kemudian meluaskan jajahannya hingga Bangka dan semenanjung Malaya. Kerajaan
ini mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan kerajaan Mataram yang
diperintah oleh Dinasti Sailendra.
Para ahli
sejarah berpendapat bahwa terdapat perselisihan antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Mataram. Terdapat pendapat bahwa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang
diperintah oleh Raja Sanjaya, yang beragama Brahma, pada tahun 778
dirampas oleh Raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra yang beragama Buddha
Mahāyāna, yaitu Raja Pancapana. Bukti-buktinya adalah pada
waktu itu penulis-penulis sejarah bangsa Tionghoa tidak pernah menceritakan
duta-duta yang datang dari Jawa Tengah. Ini menandakan bahwa Jawa Tengah
sedang dibawah kekuasaan asing. Tetapi pendapat ini disangkal dengan alasan bahwa
di Sumatera tidak terdapat candi-candi yang besar dari zaman Sailendra seperti
yang terdapat di Jawa Tengah, misalnya Borobudur dan Kalasan. Selain itu, dalam
piagam-piagam yang terdapat di Sumatera pada waktu itu terlihat bahwa bahasa
Sansekerta telah terdesak oleh bahasa Melayu Kuno. Sedangkan piagam-piagam yang
terdapat di Jawa Tengah pada waktu itu tertulis dalam bahasa Sansekerta. Huruf yang
dipakai dalam piagam-piagam di sekitar pusat kerajaan Sriwijaya adalah huruf
Pallawa, sedangkan yang dipakai di Jawa Tengah adalah huruf Nagari.
Karena
raja-raja kerajaan Sriwijaya dan raja-raja kerajaan Mataram sama-sama berasal dari
keturunan Sailendra, maka muncul pertanyaan, dari manakah keturunan Sailendra
itu? Anggapan bahwa Dinasti Sailendra itu berasal dari Sumatera dan merampas
Jawa Tengah dengan menaklukkan kerajaan Mataram adalah tidak benar. Anggapan
bahwa kerajaan Sriwijaya dirampas oleh Sanjaya, keturunan Sailendra, juga belum
dapat dibuktikan. Maka, disimpulkan bahwa hubungan yang ada itu mungkin
disebabkan oleh pertalian saudara, misalnya perkawinan, jadi bukan karena pertempuran
dan perampasan.
Pada
tahun 891, seorang raja keturunan Sailendra dari kerajaan Sriwijaya, bernama
Balaputra memberi perintah untuk membuat sebuah vihāra di dekat
kota Nalanda bagi ulama-ulama dari Sumatera. Raja itu menyebut dirinya sebagai
keturunan dari Sailendra di Jawa.
Gajayana
Menurut
piagam yang terdapat di Dinava dekat Malang, di sana dengan kerajaan Mataram di
Jawa Tengah, terdapat sebuah kerajaan yang menunjukkan pengaruh India. Rajanya
yaitu Gajawana, memberi perintah untuk membuat piagam itu pada tahun 760.
Ibukota kerajaan itu ada di sekitar Dinava. Piagam itu menerangkan suatu
pendirian suci (tempat suci) untuk menghormati Agastya, yaitu seorang dewa yang
mempunyai kedudukan di Selatan. Candi yang sekarang masih ada, yakni Candi
Badut, terletak lebih kurang empat kilometer di sebelah barat kota Malang.
Candi itu mempunyai sifat-sifat yang berhubungan dengan candi-candi yang
terdapat di Jawa Tengah.
Empu
Sindok
Keadaan
Kerajaan Mataram sesudah Raja Pancapana belum jelas, yang diketahui hanya
daftar raja-raja yang memerintah secara berturut-turut.
Menurut
Stutterheim, Raja Balitung bukan lagi seorang keturunan Raja Pancapana, tetapi
mungkin orang Jawa Timur asli yang dapat memangku mahkota, mungkin karena perkawinan.
Pengganti-pengganti Raja Balitung hingga Raja Tulodong masih tetap memerintah
di Jawa Timur yaitu Raja Wawa. Nama Raja Wawa hanya terdapat di dalam
piagam-piagam yang terdapat di Jawa Timur. Raja Wawa diganti oleh Empu Sindok yang
mula-mula menjabat sebagai patih Wawa.
Empu
Sindok memerintah antara tahun 929-947, bahkan mungkin lebih lama lagi. Empu
Sindok adalah raja yang pertama kali menyebut "keraton raja-raja yang telah
mangkat di Medang di Mataram" di dalam piagamnya.
Kerajaan
Sindok meluas hingga Surabaya, Kediri, dan Pasuruan. Di bawah pemerintahannya
yang lama itu, kerajaan mengalami kemakmuran dan kemajuan. Di dalam piagamnya
diterangkan bahwa, Sindok telah mengalahkan banyak raja-raja sekitarnya dan
namanya sangat terkenal.
Nama
Sindok sebagai raja yaitu, Sri Maharaja Sri Isana Wikramadharmottunggadewa.
Keturunannya memerintah hingga tiga abad lamanya. Sesudah beberapa tahun menjadi
patih atau bendahara, maka beliau naik tahta. Yang menarik perhatian, adalah
kesukaannya untuk mendirikan tempat-tempat suci. Ini terbukti dari
piagam-piagam yang ada, yang menerangkan tentang hadiah-hadiah kepada agama Buddha
Mahāyāna. Karena berjasa, maka nama Sindok disebut dalam kitab
suci Mahāyāna yaitu Sang Hyang Kamahayanikan.
Sindok
tidak memerintah seorang diri, tetapi bersama dengan Parameswarinja, putera
seorang bangsawan yang berpangkat tinggi, bernama Rakrvan Bavsang. Ini
menunjukkan kedudukan kaum ibu yang tinggi pada waktu itu.
Sindok memiliki
puteri yang bernama Sri Isanatunggawijaya, yang menggantikan ayahnya sebagai
raja perempuan. Suaminya bernama Lokapala. Sri Isanatunggawijaya digantikan
oleh puteranya yang bernama Makutawangsawardhana, yang digantikan lagi oleh
puteranya yaitu Mahendratta, seorang putri. Mahendratta bersuamikan seorang Raja
Bali, Dharmodayana dan mempunyai putera bernama Erlangga.
Mahendratta
dan Dharmodayana tidak memerintah di Jawa Timur, tetapi di Bali. Mereka ada di bawah
kekuasaan Makutawangsawardhana dan Dharmawangsa yang memerintah di Jawa Timur.
Sejak
Makutawangsawardhana, keturunan Sindok tidak lagi memeluk agama Buddha Mahāyāna
- melainkan Hindu (Wishnu).
Dharmawangsa
Sesudah
Makutawangsawardhana, yang berkuasa di Jawa Timur adalah putera-puteri
Makutawangsawardhana, yaitu Mahendratta yang bersuamikan Dharmodhyana,
berkedudukan di Bali, sehingga tidak berkuasa di Jawa Timur.
Siapakah
Dharmawangsa dan bagaimanakah hubungannya dengan Makutawangsawardhana dan
Mahendratta? Mungkin beliau adalah putera Makutawangsawardhana atau saudara
laki laki Mahendratta. Tetapi pendapat lain menyatakan bahwa Dharmawangsa
bukan keturunan Sindok. Dharmawangsa adalah raja yang paling terkenal, baik dalam
bidang politik maupun kebudayaan. Beliau bukan raja yang suka damai. Beliau
senantiasa mencoba meluaskan daerahnya. Pada tahun 977, beliau mencoba merampas
Wuri-Wara yang terletak. di semenanjung Malaya, pada tahun 992 beliau
menyerang Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Mengapa Dharmawangsa berbuat
demikian?
Pada
waktu itu Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keturunan Sailendra, sangat
berkuasa, menguasai seluruh pantai Timur Sumatera, pulau-pulau yang ada
didekatnya dan semenanjung Malaya. la berhasil memerangi Kamboja dengan baik
sehingga menguasai seluruh lautan Tiongkok Selatan. Kerajaan Sriwijaya juga
mengadakan hubungan dengan India. Hubungan itu tidak hanya disebabkan oleh
perdagangan, tetapi juga agama. Di Sriwijaya berkembang agama Buddha Mahāyāna.
Banyak pelajar-pelajar dari Sumatera pergi ke perguruan tinggi di Nalanda di
Benggala. Kerajaan ini terkenal hingga negeri Arab. Pada waktu itu, Sumatera
terkenal sebagai negeri timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan
kapur barus yang diperdagangkan di seluruh Asia. Pada waktu itu, di sebelah
Barat, perdagangan berpusat di Kanbay di Gujarat, sedangkan di Timur berpusat
di Kanton. Sumatera terletak di tengah-tengah perjalanan antara kedua tempat
tersebut, sehingga Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi sangat besar. Pada
tahun 971, ketika Tiongkak sudah kembali damai dan aman, kota Kanton dibuka
oleh raja pertama dari keturunan Sung untuk perdagangan, pedagang-pedagang yang
selalu datang ke Kanton yaitu dari daerah Kedah, di Semenanjung Malaya, dari
Philipina, Kalimantan Barat, dan Sriwijaya.
Perkembangan
Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu menghalangi berkembangnya Kerajaan
Dharmawangsa. Sesudah menguasai Kalimantan Barat, Dharmawangsa hendak
mengadakan serangan terhadap Sriwijaya, tidak diketahui bagaimana akhir dari serangan
itu. Hingga pada tahun 992, utusan yang ada di Tiongkok mendapat kesukaran
untuk kembali ke Sumatera. Pembalasan atas perbuatan Dharmawangsa akan diketahui
kemudian.
Dalam bidang
kebudayaan, Dharmawangsa juga sangat giat. Dharmawangsa memerintahkan untuk menyusun
undang-undang dan mempelajari kesusasteraan. Buku bahasa Sansekerta
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, isinya terbuka bagi
rakyat Indonesia. Hal itu sangat berarti, karena sebelum pemerintahan Dharmawangsa,
segala sesuatu dari India hanya dapat diketahui oleh mereka yang pandai bahasa
Sansekerta, terutama para brahmana. Setelah pemerintahan Dharmawangsa, isi
Mahabrata dapat diketahui oleh setiap orang.
Erlangga
Erlangga
mula-mula ada di Bali bersama dengan orangtuanya yaitu Mahendratta dan
Dharmodayana (Udayana), tetapi sesudah menikah dengan putera-puteri
Dharmawangsa, beliau menetap di Jawa Timur, di istana mertuanya dengan suatu
pangkat, Erlangga dicalonkan untuk menggantikan mertuanya. Akan tetapi, sebelum
dapat menjadi raja, Erlangga harus mengalami kesulitan-kesulitan terlebih
dahulu. Kesulitan-kesulitan itu adalah akibat perbuatan Dharmawangsa sendiri. Kerajaan
Sriwijaya tidak lupa akan serangan yang dilakukan oleh Dharmawangsa kepada Kerajaan
Sriwijaya pada tahun 992 sehingga Kerajaan Sriwijaya berniat untuk membalas
dendam. Dengan bantuan banyak raja yang tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya,
pembalasan dendam itu berjalan baik. Erlangga baru berumur 13 tahun dan hidup
di dalam istana, tiba-tiba datanglah serbuan musuh dari luar, membunuh semua
yang ada di keraton. Musuh yang menyerbu itu terkenal sebagai Raja Wura-Wari.
Di mana letak kerajaannya masih belum diketahui. Mungkin di Jawa atau di Malaka
yaitu Ganggayu, sedangkan ibu kota lwaram, terletak di Johor.
Raja
Dharmawangsa meninggal dalam pertempuran. Keraton sudah dibakar habis,
ditinggalkan oleh musuh dengan hanya diikuti oleh beberapa pegawai istana yang
setia di antaranya Narottama, Erlangga bersembunyi di daerah Wonogiri. Banyak
rintangan yang harus diatasi oleh Erlangga dalam perjalanan itu. Akhirnya ia
mendapat perlindungan dari para pertapa dan para Paderi. Erlangga harus
bersembunyi cukup lama dan selama itu tidak diketahui apa yang akan terjadi
dengan dirinya, banyak pertolongan yang diperoleh Erlangga dari para pertapa,
dan untuk menyatakan rasa terima kasihnya, Erlangga berjanji akan mendirikan
bangunan-bangunan bagi kepentingan para pertapa. Janji itu kemudian benar-benar
dipenuhi.
Musuh yang
menyerang Dharmawangsa dari luar itu adalah Kerajaan Sriwajaya, tetapi bukan dilakukan
sendiri oleh Kerajaan Sriwijaya. Di dalam piagam yang berhubungan dengan
kejadian itu, disebutkan seorang raja dari Wura-wari.
Merupakan
keberuntungan bagi Erlangga, karena Kerajaan Sriwijaya mengalami masalah
sesudah membinasakan Kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1023-1024, Kerajaan
Sriwijaya tiba-tiba diserang oleh Raja Rajendra dari Colamandala (India). Pada
waktu itu Raja Rajendra memang berniat untuk menguasai jalan perdagangan
melalui selat Malaka dengan menaklukkan raja-raja di sekitar selat itu dan di sepanjang
pantai Benggala. Walaupun telah mendapat pukulan yang hebat, keturunan Sailendra
masih dapat melanjutkan Kerajaan Sriwijaya hingga tiga abad lamanya.
Di dalam pengasingan itu, Erlangga selalu melatih diri baik rohani maupun
jasmani. Hidup bertapa dengan aturan-aturan yang diberikan oleh para Paderi
menurut ajaran kaum Brahma, dijalankan oleh Erlangga dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, hasrat yang besar dan kuat terbentuk di dalam sanubari
Erlangga, hasrat untuk mencapai cita-citanya. Tetapi menurut para ulama pada
waktu itu, latihan itu artinya lebih dari sekedar untuk memperbesar dan
memperkuat kemauan atau hasrat saja. Menurut pendapat mereka, dengan latihan
itu, Erlangga mencapai kesaktian untuk berbuat sesuatu yang aneh yang tidak
bisa dikerjakan oleh orang biasa, hanya dengan kesaktian itulah Erlangga akan
dapat menjadi raja besar dan mulia.
Setelah
mengalahkan beberapa musuh, Erlangga menjadi raja pada tahun 1010. Tetapi
penobatan resmi baru dilakukan pada tahun 1019, dilaksanakan oleh para ulama Buddha,
Siwa, dan Kaum Brahma. Beliau mendapat gelar resmi Sri Maharaja
Rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Anantawikrama-tunggadewa.
Mula-mula
daerah kekuasaan Erlangga cukup terbatas. Beliau hanya memerintah daerah kecil dengan
Surabaya. Kesempatan baik dipergunakan oleh Erlangga setelah penyerbuan terhadap
Kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Raja Rajendra dari Colamandala. Pada
tahun 1030 Erlangga berusaha mengalahkan Kerajaan Wengker (Panaraga), tetapi belum
berhasil. Maka beliau terlebih dahulu menaklukan raja-raja yang lain, di antaranya
adalah raja-raja di Mahasin dan tempat-tempat lain, misalnya Barat dan Galuh,
tetapi di mana letak tempat-tempat itu sekarang tidak dapat diketahui. Pada
tahun 1032, semua raja-raja di sekitarnya menyerah. Erlangga mulai lagi menyerang
Kerajaan Wengker dengan rajanya yang bernama Wijaya. Sesudah tiga tahun lamanya
berperang, Raja Wijaya tertangkap dan dibunuh (tahun 1035). Tetapi dua tahun
kemudian, pada tahun 1037, Erlangga baru dapat menguasai seluruh Jawa Timur. Erlangga
tidak meluaskan daerahnya lebih daripada Jawa Timur. Erlangga mengadakan
hubungan persahabatan dengan Kerajaan Sriwijaya dan persahabatan itu bertambah
erat dengan perkawinan seorang raja Sumatera dengan seorang puteri Jawa Timur.
Walaupun kerajaan Erlangga hanya terbatas kepada Jawa Timur saja, tetapi
namanya sangat terkenal dan pengaruhnya diakui hingga luar Jawa Timur.
Tidak
diketahui secara pasti di mana letak keraton Erlangga. Mula-mula
istananya (tahun 1021) di Wawatan Mas, kemudian (tahun 1037) di Kahuripan.
Perhatian dan usaha Erlangga tidak terbatas begitu saja. Kemakmuran negara dan
rakyat selalu menjadi perhatiannya. Hal ini terbukti dari usahanya menolong rakyat
di dekat Wringin Sata (sekarang tempat itu dinamakan Wringin Pitu) yang sangat
menderita oleh karena tertimpa bencana yang disebabkan oleh air bah dari sungai
Brantas di tempat-tempat tersebut, sehingga penduduk tidak dapat membayar
pajak. Dengan bantuan Erlangga, maka tanggul yang bobol tersebut dapat
diperbaiki lagi, sehingga banyak desa dan tanah terhindar dari bencana air. Dan
pedagang-pedagang di Hujung Galuh (Surabaya) tidak lagi terganggu oleh naik
turunnya air di sungai Berantas serta lebih memudahkan lalu lintas di sungai.
Kesusasteraan
Indonesia pada waktu itu mulai berkembang. Tulisan yang terkenal adalah Arjuna
Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa, berupa Kakawin. Ceritanya diambil dari
Mahabrata. Arjuna Wiwaha itu merupakan lambang riwayat hidup Erlangga.
Kertanegara
Kertanegara
adalah keturunan Ken Arok yang mendirikan Kerajaan Singosari, yang riwayatnya
diuraikan dalam kitab-kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Beliau adalah raja
yang pertama yang menguasai Panjalu dan Janggala, yang kemudian disatu kembali
setelah dipecah oleh Erlangga.
Setelah
mengadakan konsolidasi di lingkungan kerajaan, Kertanegara mulai mengirimkan
tentaranya ke luar Jawa seperti ke Bali (tahun 1284) dan Malayu, Batanghari dan
Pagaruyung (tahun 1275). Kerajaan Sriwijaya di Palembang kelihatannya
membiarkan tindakan Kertanegara di Sumatera. Beberapa bukti
tentang ekspedisi Kertanegara ke Sumatera tersebut misalnya piagam pada sebuah
patung Amoghapasa berangka tahun 1286 di Padang Roco (hulu sungai Jambi).
Kertanegara
juga mengadakan hubungan dengan kerajaan di Indocina yaitu Jaya Simhawarman III
(Raja Campa) berdasarkan piagam Annam berangka tahun 1306. Dijelaskan dalam
piagam tersebut bahwa Jaya Simhawarman III mempunyai dua orang istri dan
menurut penelitian, salah satu di antaranya adalah saudara Raja Kertanegara.
Kekuasaan
dinasti Mongol di China di bawah Kubhilai Khan meluaskan pengaruh ke arah
Selatan (Campa, Annam, dan Indonesia). Sejak tahun 1280 utusan China sudah datang
ke Singosari dan minta kepada Raja Kertanegara untuk mengakui China. Raja Kertanegara
mengulur diplomasi dan terjadi krisis pada tahun 1829 di mana wajah Mengki
(utusan Kubhilai Khan) dilukai. Tentara China dikirim ke Singosari pada tahun
1292 untuk menghukum Raja Kertanegra, tetapi Raja Kertanegara sudah meninggal
dunia karena pemberontakan oleh yang dilakukan oleh Jayakatwang.
Kedatangan
tentara China yang tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Singosari itu kemudian
"dimanfaatkan" oleh Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan
seorang menantu Raja Kertanegara, untuk memukul kembali Jayakatwang.
Kitab
Pararaton menggambarkan Raja Kertanegara dengan cara yang bertolak belakang
dengan kitab-kitab Negarakertagama. Pada zaman Kertanegara diakui dua agama
resmi yang masing-masing dikepalai oleh seorang dharmadhyaksa. Selain mereka,
juga dikenal seorang Paderi istana dengan gelar Mahabrahmana yang
memahami isi kitab Reg-Veda. Abu Kertanegara disimpan di Candi Jawi yang
terdiri dari dua bagian, bagian atas tempat arca Akshobhya dan bagian
bawah tempat arca Siwa. Candi ini rusak pada tahun 1331 karena sambaran
petir.
Dalam
prasasti Joko Dolog di Surabaya, disebutkan bahwa Raja Kertanegara
adalah penulis kitab Rajapati Gundala yang berisi aturan agama untuk
Yogiswara (yang menjalankan yoga). Agama Buddha yang dianut Kertanegara
adalah aliran Tantra (Bhairawa), beliau menerima penahbisannya
dan sekaligus dianggap sebagai Jina Mahashobhya. Patung Joko Dolog
tersebut dimaksudkan untuk menawarkan pengaruh kesaktian Empu Barada yang
membagi dua Kerajaan Erlangga.
Sumber: http://www.buddhakkhetta.com