Perkembangan
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan yang
dijumpai di Sumatera dan diduga sudah berdiri sejak abad ke-lima Masehi dan
berpusat di daerah Palembang, mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan
Kerajaan Mataram yang diperintah oleh keluarga Sailendra.
Para ahli masih
berselisih paham mengenai hubungan antara Sriwijaya dan Mataram, sehubungan
dengan bahan-bahan sejarah, seperti :
a.
Penulis-penulis bangsa China tidak pernah menyebutkan adanya duta-duta
(utusan-utusan) dari Jawa Tengah ke China.
b.
Tidak terdapat candi-candi besar di Sumatera yang sebesar Candi Borobudur
yang ada pada zaman Sailendra.
c.
Piagam-piagam yang terdapat di candi-candi di Sumatera lebih banyak
mempergunakan bahasa Melayu Kuno dan ditulis dalam huruf Pallawa, sedangkan
yang dipakai di Jawa Tengah dalam huruf Nagari.
Sebelum Kerajaan
Sriwijaya berkembang, di dekatnya dan juga sebagai saingannya terdapat kerajaan
Melayu yang letaknya kira-kira di Jambi sekarang. Kerajaan Melayu itu bahkan
berdiri terlebih dahulu dibandingkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Tetapi Kerajaan
Sriwijaya lebih berkuasa daripada Kerajaan Melayu. Selama abad ke-tujuh, Kerajaan
Sriwijaya tidak hanya meliputi Palembang dan sekitarnya saja, tetapi berkembang
hingga meliputi sebelah Barat Nusantara. Kerajaan Melayu sejak itu ada di bawah
kekuasaan Sriwijaya, walaupun masih boleh berdiri sebagai negara.
Mengapa di bagian Timur Sumatera dapat berdiri kerajaan-kerajaan? Sejak
tahun Masehi, Selat Malaka menjadi lalu lintas pedagang-pedagang dari Barat
sampai ke Timur, yaitu dari Arab dan India hingga kota-kota pantai di China.
Perdagangan tersebut semakin lama semakin ramai, bahkan pada abad ke empat
telah terdapat kelompok pedagang orang Arab yang tinggal di Canton. Sejak agama Islam muncul, lalu lintas tersebut bertambah
ramai lagi. Hubungan Barat dan Timur semakin erat
karena pertukaran duta antara maharaja China dengan seorang raja India. Perdagangan
tidak terbatas antara Arab, India, dan China saja, tetapi juga dengan negara-negara
kecil yang timbul di Birma sekarang, Campa, Siam, dan Annam, begitu pula dengan
pulau-pulau yang terdapat di Indonesia yang juga ikut dalam perdagangan, sehingga
menyebabkan lalu lintas di Selat Malaka semakin ramai. Keadaan demikian menyebabkan
daerah di sekitar selat itu dipergunakan sebagai tempat perhentian untuk
menambah perbekalan mereka dalam perjalanan. Hal itu menyebabkan beberapa daerah
di sekitar selat itu saling bersaing, saling berusaha untuk berkembang lebih
maju dari yang lain. Kejadian antara Jambi dan Sriwijaya dapat dijadikan bukti.
Kerajaan Sriwijaya tidak suka melihat kemunduran ibukotanya karena kemajuan
dari Melayu dan Bangka. Maka mereka segera mengambil tindakan terhadap Melayu
dan Bangka.
Di bagian
barat Bangka, di kota Kapur, terdapat tiang batu persegi enam dengan piagam
terdiri dari sepuluh baris yang ditulis dalam huruf Pallawa. Piagam itu dimulai
dengan bagian berupa mantera yang tidak dapat dimengerti, dilanjutkan dengan
seruan kepada dewa-dewa dan makhluk halus lain yang melindungi
"kedatuan" Sriwijaya. Kedatuan ini dapat diartikan sebagai "kerajaan"
(Jawa Kedaton) atau daerah yang diperintah oleh Datu (Gubernur). Selanjutnya
diterangkan bahwa terkutuklah mereka yang durhaka kepada orang-orang yang
menjadi datu Sriwijaya. Baris ini memuat tanggal pembuatan piagam yaitu pada
tahun 686, dan diterangkan pula bahwa pada tahun itu Sriwijaya sedang
mengadakan serbuan ke Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Kesimpulan yang diperoleh
dari piagam ini adalah bahwa Bangka waktu itu termasuk dalam daerah kekuasaan
Jawa yang direbut oleh Sriwijaya.
Siapa
yang menguasai daerah Bangka dan Jawa pada waktu itu belum dapat diketahui. Hanya
diketahui bahwa Kerajaan Mataram yang terdapat di Jawa Tengah diperintah oleh
keturunan Raja Sailendra, demikian pula dengan Kerajaan Sriwijaya.
Masa
Keemasan Kerajaan Sriwijaya
Pada abad
ke-tujuh dan abad ke-delapan, Kerajaan Sriwijaya mencapai masa keemasannya.
Kekuasaannya meliputi bagian Barat Nusantara, yaitu semenanjung Malaka, Melayu,
daerah pantai barat, Borneo Barat. Sejak abad itu pula Kerajaan Sriwijaya
selalu mengirim duta ke China, yang berlangsung hingga tahun 1178. Pada tahun
992, duta yang dikirim ke China berhalangan untuk pulang kembali ke Kerajaan
Sriwijaya karena Kerajaan Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa, dan laut di sekitar
Bangka dikuasai oleh angkatan laut Dharmawangsa. Namun, tidak lama kemudian Sriwijaya
dapat membalas dendam. Pada waktu itu Kerajaan Dharmawangsa tidak dapat
dilanjutkan lagi oleh Erlangga jika Sriwijaya tidak mendapat serangan dari
barat, yaitu dari Kerajaan Cola di India Selatan.
Pada abad
ke-tujuh, ketika kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sedang pada puncaknya, Palembang
tidak hanya menjadi pusat politik, tetapi juga menjadi pusat agama, terutama
agama Buddha. Catatan yang dibuat I-Tsing memberitakan bahwa pada tahun
671 beliau berangkat dari Kanton dan menuju ke Palembang terlebih dahulu kemudian
menetap di sana selama enam bulan untuk belajar tata bahasa. Sesudah itu,
beliau pergi ke Melayu dan menetap di sana selama dua bulan. Setelah sepuluh
tahun menuntut pelajaran di perguruan tinggi di Nalanda, beliau kembali ke
Sriwijaya pada tahun 685. Setelah menetap di Sriwijaya selama empat tahun, beliau
menyadari, bahwa beliau tidak akan dapat menyelesaikan penerjemahkan
kitab-kitab suci agama Buddha yang ada di Palembang seorang diri. Oleh
sebab itu, pada tahun 689, beliau pulang kembali ke Kanton dan kemudian kembali
lagi ke Sriwijaya bersama dengan empat orang pembantu.
Selain
itu, I-Tsing menulis tentang keadaan agama Buddha di India dan tentang cara
hidup orang-orang Tionghoa yang pergi berziarah. Pada tahun 685, beliau pulang
ke Kanton. Dari berita yang dibuat oleh I-Tsing, diperkirakan terdapat banyak
kitab suci di Sriwijaya. Di Sriwijaya terdapat semacam perguruan tinggi agama Buddha.
Beberapa tahun sebelum I-Tsing pergi, sekitar tahun 645 dan 660, ada seorang
ahli agama Buddha Mahāyāna, bernama Dharmapala, yang sesudah
tiga puluh tahun mengajar di perguruan tinggi di Nalanda, menjadi mahā
guru di Sriwijaya. Dharmapala ini adalah seorang pengikut
aliran Dignaga, yaitu seorang pemimpin terkenal dari salah satu mazhab agama Buddha
Mahāyāna yaitu Yogacara.
Agama Buddha
Mahāyāna yang terdapat di Jawa mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan Agama Buddha Mahāyāna yang terdapat di Sumatera. Nama
Dignaga selalu disebut sebagai seorang ahli dalam Yoga. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa agama Buddha yang masuk dan berkembang di Sriwijaya
adalah agama Buddha yang diajarkan di Nalanda.
Sementara
pendapat lain menyatakan bahwa yang lebih dahulu datang ke Indonesia adalah agama
Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh
Gunawarman. Bagaimanakah hubungan antara kedua aliran tersebut? Pendirian para bhikkhu
pada waktu itu sangat luas, mereka berpendapat bahwa untuk memperdalam
pandangan, janganlah hanya mempelajari buku-buku dan pandangan-pandangan aliran
sendiri, tetapi harus pula memahami pandangan dan ilmu aliran lain. Dengan
demikian, di Sumatera dan Jawa, aliran Mahāyāna dengan segera
dapat "mendesak" aliran Hīnayāna. Tetapi
perkataan “mendesak” di sini bukan berarti suatu pertentangan di antara kedua aliran,
melainkan hubungan yang erat antara kedua aliran. Pada zaman I-Tsing, aliran Mahāyāna
sudah mulai lebih besar pengaruhnya daripada aliran Hīnayāna.
Menurut
I-Tsing, di Sriwijaya terdapat lebih dari seribu orang bhikkhu.
Aturan-aturan upacara dan cara mereka belajar sama dengan yang dilakukan para bhikkhu
di India. Namun bhikkhuni mempunyai pakaian yang lain, dan para bhikkhu
selalu memakai sapu tangan. Suatu bukti bahwa pada zaman I-Tsing, pengaruh Mahāyāna
sudah mulai berkembang, hal ini diketahui dari sebuah piagam di Talang Tua yang
ada pada tahun 684. Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa baginda akan mempergunakan
segala daya upaya bagi kepentingan segala mahluk. Kalau sudah mencapai
kebahagiaan jasmani, maka akan dicapai kebahagiaan rohani, artinya dalam pikiran
akan timbul bodhi, tidak terpisah dari Tri Ratna. Semua itu akan
menyebabkan orang-orang dapat memiliki badan Ratna, yaitu Wajrasarira
dan dapat menekan penjelmaan, menekan karma dan mencapai tujuan yang
paling tinggi dan sempurna. Jadi, gambaran yang diberikan oleh I-Tsing dalam
perjalanan ke India dan singgah di Sumatera, yaitu bahwa di Melayu hanya
terdapat beberapa kaum Mahāyāna yang telah berkembang. Dari
perkataan Wajrasarira, dapat disimpulkan bahwa Mahāyāna
yang terdapat di sini adalah aliran Vajrayana. Di Jawa, Raja Kertanegara
sendiri adalah seorang penganut aliran ini.
Setelah
Sriwijaya menverang Jawa (Raja Dharmawangsa), perkembangan politik yang terjadi
sama sekali berubah. Sriwijaya selalu mengadakan perhubungan balk dengan
kerajaan
Kerajaan
Sriwijaya Diserbu Kerajaan Cola
Colamandala
terdapat di India Selatan, dipimpin oleh Rajaraja I. Keadaan berubah ketika
Rajaraja I digantikan oleh Rajendracoladewa I. Raja ini tidak senang mengetahui
Kerajaan Sriwijaya menguasai seluruh Selat Malaka. Kadara (Kedah) pada waktu
itu menjadi kota dari Kerajaan Sriwijaya yang terbesar dan terpenting di
Semenanjung Malaka. Rajendracoladewa mengirimkan armadanya untuk menaklukkan
Kerajaan Sriwijaya dan menguasai lalu lintas di Selat Malaka. Kejadian ini
diterangkan dalam piagam di Tanjore yang ada pada tahun 1030. Tindakan Rajendracoladewa
dimulai pada sekitar tahun 1023 dan berakhir pada tahun 1024. Dalam piagam itu,
serangan tersebut diuraikan sebagai berikut : mula-mula ibukota diserang,
kemudian rajanya ditangkap, lalu beberapa tempat yang penting di Sumatera
diduduki. Tempat-tempat itu adalah Melayu, Panai, dan Kadara (Kedah) di
Semenanjung Malaka. Sesudah menduduki Kedah, sebelum pulang, mereka menduduki Lamuri
(Aceh), termasuk kepulauan Nicobar.
Namun,
empat tahun kemudian, Kerajaan Sriwijaya sudah dapat mengirimkan dutanya ke China,
seakan-akan tidak ada suatu kejadian yang menimpa Kerajaan Sriwijaya. Keadaan tersebut
dapat dimengerti karena ketika pasukan Cola kembali, mahkota kerajaan telah
dikembalikan lagi kepada raja yang ditangkap, karena Raja Colamandala telah
puas, jika Kerajaan Sriwijaya mau mengakui, bahwa Kerajaan Sriwijaya ada di bawah
Colamandala.
Tetapi 50
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1068, Colamandala dibawah pimpinan Wirarajendra
I, kembali menyerang Kerajaan Sriwijaya dan mengatakan bahwa Kadara telah
diserbu. Serbuan ini ternyata tidak berarti bagi Kerajaan Sriwijaya yang tetap
mengirimkan dutanya ke China. Segera sesudah itu, hubungan Kerajaan Sriwijaya
dengan Colamandala baik kembali. Hal ini terbukti dari piagam yang terdapat pada
tahun 1084, yang dibuat atas perintah seorang raja sesudah Wirarajendra, yang
menerangkan bahwa atas permintaan raja Sriwijaya, diberikan kebebasan membayar
pajak kepada sebuah desa yang telah dihadiahkan kepada tempat suci yang
didirikan oleh Kerajaan Sriwijaya (sekarang disebut Negapatman).
Runtuhnya
Kerajaan Sriwijaya dan Timbulnya Kerajaan Melayu
Walaupun serbuan-serbuan Colamandala tidak menyebabkan Kerajaan Sriwijaya
runtuh, namun terasa pengaruhnya terhadap Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu,
Kerajaan Sriwijaya tidak dapat lagi mencapai kekuasaan seperti pada abad
ketujuh, karena Melayu yang sejak abad ke-tujuh menjadi bawahannya, telah
berdiri sendiri lagi. Demikian juga dengan bagian-bagian lain di Semenanjung
Malaka dan Sumatera yang mengasingkan diri dari Kerajaan Sriwijaya. Malik Al Saleh menjadi raja pertama di Samudera (Aceh) dan meninggal pada
tahun 1396. Bahaya yang mengancam Kerajaan Sriwijaya bertambah ketika
Kertanegara menyerbu Jambi pada tahun 1275 dan sejak itu Melayu (Jambi) menjadi
daerah kekuasaannya. Pada tahun 1377 datanglah utusan terakhir yang
menghabiskan Kerajaan Sriwijaya, tetapi dihalangi-halangi oleh Majapahit,
bahkan utusan yang dikirim oleh China ke Sriwijaya ditangkap dan dibunuh oleh
orang-orang Majapahit. China tidak langsung mengajukan protes, tetapi meminta
pertolongan kepada Siam supaya disampaikan kepada Majapahit. Majapahit pada waktu
itu masih besar kekuasaannya sehingga ditakuti oleh negeri tetangganya. Kemudian Kerajaan Sriwijaya dilalaikan oleh Majapahit dan menjadi sarang
perompak.
Titik berat politik Indonesia di bagian barat berpindah dari Sriwijaya ke
Melayu, sedangkan di sebelah timur terletak di Majapahit. Melayu di sebelah
barat menjadi kerajaan yang terbesar, sejak itu pula Melayu meliputi
seluruh Sumatera. Kerajaan Melayu mempunyai pertalian saudara dengan Kerajaan
Majapahit. Dengan bantuan dari Jawa, Kerajaan Melayu dibawah pemimpinan Mauliwarmadewa
semakin mengembangkan sayapnya dan tidak dapat dihalangi-halangi oleh Kerajaan Sriwijaya.
Mauliwarmadewa kemudian digantikan oleh Adityawarman yang sejak lahir hidup di
istana Kerajaan Majapahit.
Tentara
Kertanegara yang dikirim ke Melayu pulang ke Jawa Timur dengan membawa dua
puteri Melayu, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Perkawinan ini melahirkan Jayanegara
yang kelak menjadi pemimpin Kerajaan Majapahit. Puteri Dara Petak
menikah dengan pendiri Kerajaan Majapahit (Raden Wijaya yang kemudian bergelar
Kertajasa) dan kemudian terkenal dengan nama Indreswari. Sedangkan puteri Dara
Jingga menikah dengan seorang bangsawan Majapahit dan memiliki putera yang
bernama Adityawarman, yang kelak kembali ke Melayu menggantikan Mauliwarnadewa.
Dengan
Adityawarman sebagai raja di Kerajaan Melayu, maka pertalian antara Melayu dan
Majapahit makin teguh, karena pertalian itu adalah pertalian saudara. Selama
Gajahmada memerintah, banyak bantuan yang diberikan oleh Adityawarman, di
antaranya memadamkan pemberontakan Sadeng. Bukti bahwa Adityawarman ini sejak
kecil ada di Majapahit adalah patung Manjusri yang dibangun atas perintah Adityawarman
sendiri dan ditempatkan di Candi Jago. Manjusri sebagai Bodhisatta yang
memerangi avijja (kebodohan) dianggap sebagai lambang atas riwayat hidup
Adityawarman. Sejak kecil Adityawarman belajar (memerangi kebodohan) di Kerajaan
Majapahit, sesudah dewasa baru menjadi raja di Melayu. Yang harus diperhatikan
yaitu bahwa piagam di belakang patung menerangkan bahwa Adityawarman berbuat
demikian hanya untuk orangtuanya. Jadi orangtua Adityawarman memang ada di
Majapahit.
Pusat
Kerajaan Melayu kemudian berpindah ke arah barat di daerah Minangkabau. Sejarah
mengenai lenyapnya Kerajaan Melayu belum jelas, namun diperkirakan disebabkan
oleh berkembangnya agama Islam, daerah-daerah pantai yang terlebih
dahulu menganut Islam mulai mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri berdasarkan
paham agama baru yaitu paham agama Islam, kemudian tidak lagi
menghiraukan Kerajaan Melayu yang rajanya beragama Buddha, sama seperti yang
terjadi dengan Kerajaan Majapahit.
Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar