Kamis, 26 April 2012

Kerajaan Sriwijaya

 Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan yang dijumpai di Sumatera dan diduga sudah berdiri sejak abad ke-lima Masehi dan berpusat di daerah Palembang, mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Kerajaan Mataram yang diperintah oleh keluarga Sailendra.

Para ahli masih berselisih paham mengenai hubungan antara Sriwijaya dan Mataram, sehubungan dengan bahan-bahan sejarah, seperti :

   a.       Penulis-penulis bangsa China tidak pernah menyebutkan adanya duta-duta (utusan-utusan) dari Jawa Tengah ke China.
   b.      Tidak terdapat candi-candi besar di Sumatera yang sebesar Candi Borobudur yang ada pada zaman Sailendra.
    c.       Piagam-piagam yang terdapat di candi-candi di Sumatera lebih banyak mempergunakan bahasa Melayu Kuno dan ditulis dalam huruf Pallawa, sedangkan yang dipakai di Jawa Tengah dalam huruf Nagari.

Sebelum Kerajaan Sriwijaya berkembang, di dekatnya dan juga sebagai saingannya terdapat kerajaan Melayu yang letaknya kira-kira di Jambi sekarang. Kerajaan Melayu itu bahkan berdiri terlebih dahulu dibandingkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Tetapi Kerajaan Sriwijaya lebih berkuasa daripada Kerajaan Melayu. Selama abad ke-tujuh, Kerajaan Sriwijaya tidak hanya meliputi Palembang dan sekitarnya saja, tetapi berkembang hingga meliputi sebelah Barat Nusantara. Kerajaan Melayu sejak itu ada di bawah kekuasaan Sriwijaya, walaupun masih boleh berdiri sebagai negara.

Mengapa di bagian Timur Sumatera dapat berdiri kerajaan-kerajaan? Sejak tahun Masehi, Selat Malaka menjadi lalu lintas pedagang-pedagang dari Barat sampai ke Timur, yaitu dari Arab dan India hingga kota-kota pantai di China. Perdagangan tersebut semakin lama semakin ramai, bahkan pada abad ke empat telah terdapat kelompok pedagang orang Arab yang tinggal di Canton. Sejak agama Islam muncul, lalu lintas tersebut bertambah ramai lagi. Hubungan Barat dan Timur semakin erat karena pertukaran duta antara maharaja China dengan seorang raja India. Perdagangan tidak terbatas antara Arab, India, dan China saja, tetapi juga dengan negara-negara kecil yang timbul di Birma sekarang, Campa, Siam, dan Annam, begitu pula  dengan pulau-pulau yang terdapat di Indonesia yang juga ikut dalam perdagangan, sehingga menyebabkan lalu lintas di Selat Malaka semakin ramai. Keadaan demikian menyebabkan daerah di sekitar selat itu dipergunakan sebagai tempat perhentian untuk menambah perbekalan mereka dalam perjalanan. Hal itu menyebabkan beberapa daerah di sekitar selat itu saling bersaing, saling berusaha untuk berkembang lebih maju dari yang lain. Kejadian antara Jambi dan Sriwijaya dapat dijadikan bukti. Kerajaan Sriwijaya tidak suka melihat kemunduran ibukotanya karena kemajuan dari Melayu dan Bangka. Maka mereka segera mengambil tindakan terhadap Melayu dan Bangka.

Di bagian barat Bangka, di kota Kapur, terdapat tiang batu persegi enam dengan piagam terdiri dari sepuluh baris yang ditulis dalam huruf  Pallawa. Piagam itu dimulai dengan bagian berupa mantera yang tidak dapat dimengerti, dilanjutkan dengan seruan kepada dewa-dewa dan makhluk halus lain yang melindungi "kedatuan" Sriwijaya. Kedatuan ini dapat diartikan sebagai "kerajaan" (Jawa Kedaton) atau daerah yang diperintah oleh Datu (Gubernur). Selanjutnya diterangkan bahwa terkutuklah mereka yang durhaka kepada orang-or­ang yang menjadi datu Sriwijaya. Baris ini memuat tanggal pembuatan piagam yaitu pada tahun 686, dan diterangkan pula bahwa pada tahun itu Sriwijaya sedang mengadakan serbuan ke Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Kesimpulan yang diperoleh dari piagam ini adalah bahwa Bangka waktu itu termasuk dalam daerah kekuasaan Jawa yang direbut oleh Sriwijaya.

Siapa yang menguasai daerah Bangka dan Jawa pada waktu itu belum dapat diketahui. Hanya diketahui bahwa Kerajaan Mataram yang terdapat di Jawa Tengah diperintah oleh keturunan Raja Sailendra, demikian pula dengan Kerajaan Sriwijaya.


Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya

Pada abad ke-tujuh dan abad ke-delapan, Kerajaan Sriwijaya mencapai masa keemasannya. Kekuasaannya meliputi bagian Barat Nusantara, yaitu semenanjung Malaka, Melayu, daerah pantai barat, Borneo Barat. Sejak abad itu pula Kerajaan Sriwijaya selalu mengirim duta ke China, yang berlangsung hingga tahun 1178. Pada tahun 992, duta yang dikirim ke China berhalangan untuk pulang kembali ke Kerajaan Sriwijaya karena Kerajaan Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa, dan laut di sekitar Bangka dikuasai oleh angkatan laut Dharmawangsa. Namun, tidak lama kemudian Sriwijaya dapat membalas dendam. Pada waktu itu Kerajaan Dharmawangsa tidak dapat dilanjutkan lagi oleh Erlangga jika Sriwijaya tidak mendapat serangan dari barat, yaitu dari Kerajaan Cola di India Selatan.

Pada abad ke-tujuh, ketika kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sedang pada puncaknya, Palembang tidak hanya menjadi pusat politik, tetapi juga menjadi pusat agama, terutama agama Buddha. Catatan yang dibuat I-Tsing memberitakan bahwa pada tahun 671 beliau berangkat dari Kanton dan menuju ke Palembang terlebih dahulu kemudian menetap di sana selama enam bulan untuk belajar tata bahasa. Sesudah itu, beliau pergi ke Melayu dan menetap di sana selama dua bulan. Setelah sepuluh tahun menuntut pelajaran di perguruan tinggi di Nalanda, beliau kembali ke Sriwijaya pada tahun 685. Setelah menetap di Sriwijaya selama empat tahun, beliau menyadari, bahwa beliau tidak akan dapat menyelesaikan penerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha yang ada di Palembang seorang diri. Oleh sebab itu, pada tahun 689, beliau pulang kembali ke Kanton dan kemudian kembali lagi ke Sriwijaya bersama dengan empat orang pembantu.

Selain itu, I-Tsing menulis tentang keadaan agama Buddha di India dan tentang cara hidup orang-orang Tionghoa yang pergi berziarah. Pada tahun 685, beliau pulang ke Kanton. Dari berita yang dibuat oleh I-Tsing, diperkirakan terdapat banyak kitab suci di Sriwijaya. Di Sriwijaya terdapat semacam perguruan tinggi agama Buddha. Beberapa tahun sebelum I-Tsing pergi, sekitar tahun 645 dan 660, ada seorang ahli agama Buddha Mahāyāna, bernama Dharmapala, yang sesudah tiga puluh tahun mengajar di perguruan tinggi di Nalanda, menjadi mahā guru di Sriwijaya. Dharmapala ini adalah seorang pengikut aliran Dignaga, yaitu seorang pemimpin terkenal dari salah satu mazhab agama Buddha Mahāyāna yaitu Yogacara.

Agama Buddha Mahāyāna yang terdapat di Jawa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Agama Buddha Mahāyāna yang terdapat di Sumatera. Nama Dignaga selalu disebut sebagai seorang ahli dalam Yoga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama Buddha yang masuk dan berkembang di Sriwijaya adalah agama Buddha yang diajarkan di Nalanda.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa yang lebih dahulu datang ke Indonesia adalah agama Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh Gunawarman. Bagaimanakah hubungan antara kedua aliran tersebut? Pendirian para bhikkhu pada waktu itu sangat luas, mereka berpendapat bahwa untuk memperdalam pandangan, janganlah hanya mempelajari buku-buku dan pandangan-pandangan aliran sendiri, tetapi harus pula memahami pandangan dan ilmu aliran lain. Dengan demikian, di Sumatera dan Jawa, aliran Mahāyāna dengan segera dapat "mendesak" aliran Hīnayāna. Tetapi perkataan “mendesak” di sini bukan berarti suatu pertentangan di antara kedua aliran, melainkan hubungan yang erat antara kedua aliran. Pada zaman I-Tsing, aliran Mahāyāna sudah mulai lebih besar pengaruhnya daripada aliran Hīnayāna.

Menurut I-Tsing, di Sriwijaya terdapat lebih dari seribu orang bhikkhu. Aturan-aturan upacara dan cara mereka belajar sama dengan yang dilakukan para bhikkhu di India. Namun bhikkhuni mempunyai pakaian yang lain, dan para bhikkhu selalu memakai sapu tangan. Suatu bukti bahwa pada zaman I-Tsing, pengaruh Mahāyāna sudah mulai berkembang, hal ini diketahui dari sebuah piagam di Talang Tua yang ada pada tahun 684. Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa baginda akan mempergunakan segala daya upaya bagi kepentingan segala mahluk. Kalau sudah mencapai kebahagiaan jasmani, maka akan dicapai kebahagiaan rohani, artinya dalam pikiran akan timbul bodhi, tidak terpisah dari Tri Ratna. Semua itu akan menyebabkan orang-orang dapat memiliki badan Ratna, yaitu Wajrasarira dan dapat menekan penjelmaan, menekan karma dan mencapai tujuan yang paling tinggi dan sempurna. Jadi, gambaran yang diberikan oleh I-Tsing dalam perjalanan ke India dan singgah di Sumatera, yaitu bahwa di Melayu hanya terdapat beberapa kaum Mahāyāna yang telah berkembang. Dari perkataan Wajrasarira, dapat disimpulkan bahwa Mahāyāna yang terdapat di sini adalah aliran Vajrayana. Di Jawa, Raja Kertanegara sendiri adalah seorang penganut aliran ini.

Setelah Sriwijaya menverang Jawa (Raja Dharmawangsa), perkembangan politik yang terjadi sama sekali berubah. Sriwijaya selalu mengadakan perhubungan balk dengan kerajaan


Kerajaan Sriwijaya Diserbu Kerajaan Cola

Colamandala terdapat di India Selatan, dipimpin oleh Rajaraja I. Keadaan berubah ketika Rajaraja I digantikan oleh Rajendracoladewa I. Raja ini tidak senang mengetahui Kerajaan Sriwijaya menguasai seluruh Selat Malaka. Kadara (Kedah) pada waktu itu menjadi kota dari Kerajaan Sriwijaya yang terbesar dan terpenting di Semenanjung Malaka. Rajendracoladewa mengirimkan armadanya untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan menguasai lalu lintas di Selat Malaka. Kejadian ini diterangkan dalam piagam di Tanjore yang ada pada tahun 1030. Tindakan Rajendracoladewa dimulai pada sekitar tahun 1023 dan berakhir pada tahun 1024. Dalam piagam itu, serangan tersebut diuraikan sebagai berikut : mula-mula ibukota diserang, kemudian rajanya ditangkap, lalu beberapa tempat yang penting di Sumatera diduduki. Tempat-­tempat itu adalah Melayu, Panai, dan Kadara (Kedah) di Semenanjung Malaka. Sesudah menduduki Kedah, sebelum pulang, mereka menduduki Lamuri (Aceh), termasuk kepulauan Nicobar.

Namun, empat tahun kemudian, Kerajaan Sriwijaya sudah dapat mengirimkan dutanya ke China, seakan-akan tidak ada suatu kejadian yang menimpa Kerajaan Sriwijaya. Keadaan tersebut dapat dimengerti karena ketika pasukan Cola kembali, mahkota kerajaan telah dikembalikan lagi kepada raja yang ditangkap, karena Raja Colamandala telah puas, jika Kerajaan Sriwijaya mau mengakui, bahwa Kerajaan Sriwijaya ada di bawah Colamandala.

Tetapi 50 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1068, Colamandala dibawah pimpinan Wirarajendra I, kembali menyerang Kerajaan Sriwijaya dan mengatakan bahwa Kadara telah diserbu. Serbuan ini ternyata tidak berarti bagi Kerajaan Sriwijaya yang tetap mengirimkan dutanya ke China. Segera sesudah itu, hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Colamandala baik kembali. Hal ini terbukti dari piagam yang terdapat pada tahun 1084, yang dibuat atas perintah seorang raja sesudah Wirarajendra, yang menerangkan bahwa atas permintaan raja Sriwijaya, diberikan kebebasan membayar pajak kepada sebuah desa yang telah dihadiahkan kepada tempat suci yang didirikan oleh Kerajaan Sriwijaya (sekarang disebut Negapatman).


Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya dan Timbulnya Kerajaan Melayu

Walaupun serbuan-serbuan Colamandala tidak menyebabkan Kerajaan Sriwijaya runtuh, namun terasa pengaruhnya terhadap Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Kerajaan Sriwijaya tidak dapat lagi mencapai kekuasaan seperti pada abad ketujuh, karena Melayu yang sejak abad ke-tujuh menjadi bawahannya, telah berdiri sendiri lagi. Demikian juga dengan bagian-­bagian lain di Semenanjung Malaka dan Sumatera yang mengasingkan diri dari Kerajaan Sriwijaya. Malik Al Saleh menjadi raja pertama di Samudera (Aceh) dan meninggal pada tahun 1396. Bahaya yang mengancam Kerajaan Sriwijaya bertambah ketika Kertanegara menyerbu Jambi pada tahun 1275 dan sejak itu Melayu (Jambi) menjadi daerah kekuasaannya. Pada tahun 1377 datanglah utusan terakhir yang menghabiskan Kerajaan Sriwijaya, tetapi dihalangi-halangi oleh Majapahit, bahkan utusan yang dikirim oleh China ke Sriwijaya ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang Majapahit. China tidak langsung mengajukan protes, tetapi meminta pertolongan kepada Siam supaya disampaikan kepada Majapahit. Majapahit pada waktu itu masih besar kekuasaannya sehingga ditakuti oleh negeri tetangganya. Kemudian Kerajaan Sriwijaya dilalaikan oleh Majapahit dan menjadi sarang perompak.

Titik berat politik Indonesia di bagian barat berpindah dari Sriwijaya ke Melayu, sedangkan di sebelah timur terletak di Majapahit. Melayu di sebelah barat menjadi kerajaan yang terbesar, sejak itu pula Melayu meliputi seluruh Sumatera. Kerajaan Melayu mempunyai pertalian saudara dengan Kerajaan Majapahit. Dengan bantuan dari Jawa, Kerajaan Melayu dibawah pemimpinan Mauliwarmadewa semakin mengembangkan sayapnya dan tidak dapat dihalangi-halangi oleh Kerajaan Sriwijaya. Mauliwarmadewa kemudian digantikan oleh Adityawarman yang sejak lahir hidup di istana Kerajaan Majapahit.

Tentara Kertanegara yang dikirim ke Melayu pulang ke Jawa Timur dengan membawa dua puteri Melayu, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Perkawinan ini melahirkan Jayanegara yang kelak menjadi pemimpin Kerajaan Majapahit. Puteri Dara Petak menikah dengan pendiri Kerajaan Majapahit (Raden Wijaya yang kemudian bergelar Kertajasa) dan kemudian terkenal dengan nama Indreswari. Sedangkan puteri Dara Jingga menikah dengan seorang bangsawan Majapahit dan memiliki putera yang bernama Adityawarman, yang kelak kembali ke Melayu menggantikan Mauliwarnadewa.

Dengan Adityawarman sebagai raja di Kerajaan Melayu, maka pertalian antara Melayu dan Majapahit makin teguh, karena pertalian itu adalah pertalian saudara. Selama Gajahmada memerintah, banyak bantuan yang diberikan oleh Adityawarman, di antaranya memadamkan pemberontakan Sadeng. Bukti bahwa Adityawarman ini sejak kecil ada di Majapahit adalah patung Manjusri yang dibangun atas perintah Adityawarman sendiri dan ditempatkan di Candi Jago. Manjusri sebagai Bodhisatta yang memerangi avijja (kebodohan) dianggap sebagai lambang atas riwayat hidup Adityawarman. Sejak kecil Adityawarman belajar (memerangi kebodohan) di Kerajaan Majapahit, sesudah dewasa baru menjadi raja di Melayu. Yang harus diperhatikan yaitu bahwa piagam di belakang patung menerangkan bahwa Adityawarman berbuat demikian hanya untuk orangtuanya. Jadi orangtua Adityawarman memang ada di Majapahit.

Pusat Kerajaan Melayu kemudian berpindah ke arah barat di daerah Minangkabau. Sejarah mengenai lenyapnya Kerajaan Melayu belum jelas, namun diperkirakan disebabkan oleh berkembangnya agama Islam, daerah-daerah pantai yang terlebih dahulu menganut Islam mulai mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri berdasarkan paham agama baru yaitu paham agama Islam, kemudian tidak lagi menghiraukan Kerajaan Melayu yang rajanya beragama Buddha, sama seperti yang terjadi dengan Kerajaan Majapahit.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More