Kamis, 26 April 2012

Sejarah Masuknya Agama Buddha ke Indonesia

Belum diketahui secara pasti kapan pertama kali Ajaran Buddha masuk ke Indonesia, walaupun nama Pulau Jawa sebagai "Labadiu" telah dikenal oleh Ptolemi, seorang ahli ilmu bumi di Iskandariah pada tahun 130 M. Demikian juga di dalam kitab Ramayana yang mengatakan bahwa Hanoman datang ke Javadwipa mencari Dewi Sinta, dikatakan terdapat tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya dengan tambang-tambang emas, tetapi tidak menyebut agama yang terdapat di sana.

Pada abad pertama masehi sudah dikenal "Javadwipa"yang meliputi Jawa dan Sumatera sekarang. "Suvarnadwipa" adalah nama untuk Pulau Sumatera. Dapat disimpulkan bahwa sebelum abad kedua masehi, sudah terdapat hubungan antara India dengan kepulauan Nusantara.

Kedatangan Fa-Hien pada tahun 414 M ke Pulau Jawa dalam perjalanan kembali ke China melalui laut (berangkat melalui jalan darat) setelah mengunjungi India selama enam tahun, telah membuka sedikit tabir kegelapan mengenai kehidupan agama di Pulau Jawa.  Beliau tinggal 5 bulan di Pulau Jawa dan dalam catatannya mengatakan bahwa banyak terdapat penganut agama Brāhmaa, yang jauh berbeda (dari yang di India), tetapi sedikit penganut ajaran Buddha dan tidak menarik untuk dicatat.

Atas usaha Bhikku Gunawarman pada tahun 423 M, ajaran Buddha berkembang di Jawa. Gunawarman adalah putera Raja Kashmir yang melepaskan tahta untuk menjadi bhikkhu. Awalnya beliau pergi ke Sri Langka dan kemudian ke She-Po (Jawa) dan berhasil mengembangkan ajaran Buddha di sana.

Sementara itu keadaan ajaran Buddha di Sumatera masih belum diketahui. Setelah kedatangan I-Tsing pada tahun 671 M dan pada tahun 688-695 M mulai tersingkap keadaan ajaran Buddha di Sumatera. Beliau datang ke Sribhoja, ibukota kerajaan Bhoja dekat Palembang. Beliau mengatakan bahwa "Raja dari Kerajaan Bhoja dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut ajaran Buddha.

Sribhoja merupakan pusat terpenting di mana Dhamma dipelajari. Di kota itu terdapat 1000 bhikkhu yang mempelajari dan menelaah Dhamma, sama seperti yang diajarkan di India. Di kerajaan Bhoja dan di kepulauan sekitarnya, sebagian besar adalah penganut aliran Mūlasarvāstivāda, sebagian kecil adalah penganut aliran Sammitiya dan dua aliran lain yang baru berkembang, sedangkan di Melayu terdapat sedikit penganut Mahāyāna. Semua aliran-aliran di atas tergolong aliran Hīnayāna.
Ini merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha telah masuk jauh sebelum abad ke VII Masehi yang dikembangkan oleh dhammadūta-dhammadūta dari aliran Sarvāstivāda, yang diduga berasal dari India Utara (Kashmir). Tetapi hal itu juga merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha Mahāyāna telah berkembang di Melayu, sewaktu I-Tsing datang ke Sumatera.

Mahāyāna awalnya masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa dan ke Kamboja (Kmer). Sriwijaya adalah penganut ajaran Buddha dan mengembangkan aliran Mahāyāna di daerah yang mereka kuasai. Pada tahun 759 M kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Thailand Selatan yang sekarang disebut Suratani (Suratradhani) dan Pattani.

Bentuk bangunan candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya masih ada sampai sekarang, arca-arca Buddha dan Bodhisatta mirip dengan yang terdapat di Jawa, misalnya Vihāra Mahādhatu di Jawa dan Vihāra Mahādhatu di Nakorn Si Thamarat (Nagara Sirī Dhammarāja).

Catatan sejarah dari Tibet menyatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke II merupakan pusat kegiatan ajaran Buddha yang terkemuka. Atissa yang sangat terkenal, pembangkit kembali Ajaran Buddha di Tibet, dikatakan pernah datang (dari India) ke Sumatera dan berdiam disana dari tahun 1011-1023, belajar di bawah bimbingan Bhikkhu Dharmakīrti, seorang Bhikkhu yang terkemuka di Sumatera. Dalam biografi Atissa yang ditulis di Tibet, disebutkan bahwa Sumatera merupakan pusat utama ajaran Bud­dha dan Bhikkhu Dharmakīrti adalah sarjana terbesar di zaman itu.

Kedatangan para dhammadūta ke Indonesia mendorong banyak orang pergi ke India, mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat ajaran Buddha seperti Universitas Nalanda di Bihar yang didirikan oleh dinasti Gupta (320-606). Peziarah yang datang dari Sriwijaya tinggal dan menetap di sana demikian banyaknya, sehingga dibuatkan Vihāra khusus dekat Nalanda dan Nagapattanam untuk mereka dan raja setempat (Raja Pala dan Cola) memerintahkan rakyatnya untuk memberi bantuan. Setelah kembali ke Indonesia, mereka mendirikan candi-candi dengan bentuk dan ukiran yang bercorak Indonesia.

Mengenai perguruan tinggi ajaran Buddha di Nalanda tersebut dapat ditambahkan bahwa berdasarkan berita-berita yang dibuat oleh Bhiku Huan Tsang yang berkunjung ke India pada tahun 629-645, dikatakan bahwa pada abad ke-7 tersebut Nalanda telah berkembang sebagai lembaga pendidikan intelektual. Nalanda di bawah pimpinan Silabadra tidak saja memberikan pelajaran ajaran Buddha, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab Veda, filsafat Hindu, logika, tata bahasa, dan pengobatan. Kemudian diberitakan bahwa Nalanda mempunyai pendukung dāna yang besar, yang dikumpulkan dari 100 desa, termasuk dāna dari Raja Harsha pribadi, untuk mendidik 10.000 siswa (tanpa bayaran). Nalanda juga mempunyai staf yang banyak serta kompleks bangunan yang luas seperti yang terlihat dalam reruntuhannya (karena serbuan bangsa Hun dan masuknya agama Islam ke India).

Dalam pemberitaannya, Bhiku Huan Tsang juga menyebutkan bahwa beliau mendapatkan ajaran Buddha Hīnayāna yang sudah menyurut di India dan hanya sedikit dijumpai di bagian barat India. Pada masa itu pengaruh ajaran Tantra sudah meluas ke India, termasuk dalam lingkungan pendidikan di Nalanda.

Candi-candi dan ukiran yang ada di Indonesia membuktikan bahwa pembuatnya bukanlah orang asing yang berkebudayaan asing, melainkan orang Indonesia asli dengan mempergunakan latar belakang kehidupan masyarakat dan kebudavaan asli. Diantaranya terdapat candi Pawon, candi Kalasan, candi Sari, candi Sewu, candi Plaosan, candi Mendut, candi Borobudur, candi Pogo, candi Singosari, dan lain-lain serta beberapa candi Hindu (Siwa, Brahmana, dan Wisnu).

Nenek moyang bangsa Indonesia adalah seniman religi yang besar, hal ini terlihat juga dari puji-pujian yang diberikan oleh ahli-ahli purbakala dari Barat. Menurut C. Elliot (Hinduism and Buddhism Vol. IL 170), banyak relief-relief, terutama di candi Panataran tidak terlihat adanya pengaruh India, walaupun tidak tepat namun dapat dikatakan mempunyai ciri khas Polynesia. Keistimewaan arca-­arca di Indonesia terletak pada kehalusan dan keindahan wajah­-wajah dari pribadi yang dipatungkan. Di antara arca-arca yang ditemukan di India sulit dijumpai yang memiliki keindahan dan kehalusan seperti arca Avalokitevara di candi Mendut, arca Manjusri yang sekarang disimpan di Museum Berlin atau seperti arca Prajāpāramitā yang sekarang ada di Leiden.

Prof. Dr. A.J. Bernet Kempres, bekas Direktur Dinas Purbakala Indonesia mengatakan bahwa gambaran dan susunan ketiga arca dalam candi Mendut merupakan suatu manifestasi alam pikiran dan kesenian Buddhis yang terbesar. Menurut pendapatnya, sangat sedikit kelompok arca dimanapun dari negara buddhis yang dapat menandinginya.

Bentuk ajaran Buddha semula di pulau Jawa adalah Hīnayāna, yang dikembangkan oleh Bhikkhu Gunawarman, namun ajaran tersebut lama kelamaan terdesak oleh aliran-aliran lain yang terus menerus masuk setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan didirikannya candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Tara (personifikasi dari Prajāpāramitā menurut aliran Tantra), yang tercatat pada tahun 778 M.

Hubungan kebudayaan antara India dan Indonesia itu menyebabkan masuknya aliran-aliran lain dari ajaran Buddha, terutama yang telah berkembang di Bengal, yaitu Tantrayāna yang berpusat di Universitas Nalanda. Aliran tersebut mula-mula masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa. Di antara aliran yang masuk tersebut, terdapat aliran Tantrayāna, terutama menjelang hancurnya Uni­versitas Nalanda,.

Kitab-kitabnya masih terdapat pada masa sekarang, seperti Sang Hyang Kamahayanikan. Sang Hyang Kamahayanikan menguraikan ajaran Mahāyāna dan Tantrayāna dengan baik. Dari catatan epigraphic diketahui, bahwa salah seorang dari Raja Sailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negeri Gauda (Bengal). Hal tersebut menyebabkan berkembangnya Tantrayāna di Jawa.

Demi baktinya kepada guru, salah seorang Raja Sailendra mempersembahkan candi untuk pemujaan Dewi Tara yang sekarang disebut candi Kalasan, yang konstruksinya sama dengan candi-candi yang terdapat di Kamboja.

Agama Hindu yang datang ke Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan Siwa. Tetapi oleh karena data-data mengenai awal zaman Hindu - Jawa ini tidak lengkap, maka sulit untuk mengetahui penyembah Siwa seperti apa yang mula-mula datang ke Indonesia. Karena terdapat banyak aliran agama Siwa, di antaranya aliran Pasupata, aliran Kalamukha, aliran Linggayat, aliran Saiwa Sindhata, dan lain-lain. Pada zaman berikutnya, tampaknya aliran Saiwa Sidhanta yang semakin berpengaruh di Jawa. Hal ini dapat diketahui dari perpustakaan Hindu-Jawa yang hingga kini masih ada. Seperti salah satu naskah yang bernama Bhuwanakosa, menyebutkan "Jnana siddhanta sastram".

Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah agama Siwa yang telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yang mengajarkan penjelmaan atau penumbuhan Brahman (zat pertama, asas segala sesuatu) dalam beberapa tingkatan, dari tingkatan yang halus hingga yang kasar. Penjelmaan atau penumbuhan ini dimungkinkan karena adanya kesaktian atau daya kekuatan atau kuasa yang dinamis di dalam Brahman itu.

Disamping agama Siwa, ajaran Buddha juga datang ke In­donesia. Meskipun ajaran Buddha yang datang adalah dari aliran Hīnayāna, namun pada abad ke-8, aliran Mahāyāna yang menjadi lebih berpengaruh di Jawa. Dapat dikatakan bahwa di Jawa sampai akhir zaman Hindu, terdapat dua agama negara yang diakui, yaitu agama Siwa dan ajaran Buddha Mahāyāna.

Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira pertengahan abad ke-15 M, kepustakaan Hindu-Buddha di Jawa mengalami zaman emasnya. Naskah-naskah agama Siwa yang menjadi sumber pengetahuan tentang ajaran kepercayaan Hindu-Jawa menerbitkan buku-buku pegangan bagi pelaksanaan yoga dalam agama Siwa, yang bermaksud untuk memberi sarana yang cocok kepada para murid supaya dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, dengan Siwa.

Naskah-naskah ajaran Buddha Mahāyāna menyebut dirinya sebagai buku-buku pelajaran ajaran Buddha dari aliran Mantrayāna, yaitu suatu aliran Mahāyāna yang mementingkan mantra-mantra sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan. Juga terdapat sebuah buku yang berisi suatu amanat yang diberikan oleh seorang guru kepada seorang murid setelah upacara penahbisannya.

Demikianlah keadaan kepustakaan Hindu-Jawa pada zaman Siwa dan zaman Buddha Mahāyāna menguasai Jawa.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More