Belum diketahui secara
pasti kapan pertama kali Ajaran Buddha
masuk ke Indonesia, walaupun nama Pulau
Jawa sebagai "Labadiu" telah dikenal oleh Ptolemi,
seorang ahli ilmu bumi di
Iskandariah pada tahun 130 M. Demikian juga di dalam
kitab Ramayana yang mengatakan
bahwa Hanoman datang ke Javadwipa
mencari Dewi Sinta, dikatakan terdapat tujuh kerajaan, pulau emas dan perak,
kaya dengan tambang-tambang emas, tetapi tidak menyebut
agama yang terdapat di sana.
Pada abad pertama masehi
sudah dikenal "Javadwipa"yang meliputi
Jawa dan Sumatera sekarang. "Suvarnadwipa" adalah nama untuk
Pulau Sumatera. Dapat disimpulkan bahwa sebelum abad kedua
masehi, sudah terdapat hubungan antara India
dengan kepulauan Nusantara.
Kedatangan Fa-Hien pada tahun 414 M ke Pulau Jawa
dalam perjalanan kembali ke China melalui laut (berangkat
melalui jalan darat) setelah mengunjungi India selama enam tahun, telah
membuka sedikit tabir kegelapan mengenai kehidupan agama di Pulau Jawa.
Beliau tinggal 5 bulan
di Pulau Jawa dan dalam
catatannya mengatakan bahwa banyak terdapat
penganut agama Brāhmaṇa, yang jauh berbeda (dari yang di India),
tetapi sedikit penganut ajaran Buddha dan tidak menarik
untuk dicatat.
Atas usaha Bhikku Gunawarman
pada tahun 423 M, ajaran Buddha berkembang di Jawa. Gunawarman adalah putera Raja Kashmir yang melepaskan tahta untuk menjadi bhikkhu.
Awalnya beliau pergi ke Sri Langka
dan kemudian ke She-Po (Jawa) dan berhasil mengembangkan
ajaran Buddha di sana.
Sementara itu keadaan ajaran
Buddha di Sumatera masih belum diketahui. Setelah kedatangan I-Tsing pada tahun 671 M dan pada tahun
688-695 M mulai tersingkap keadaan ajaran Buddha di Sumatera. Beliau datang ke Sribhoja,
ibukota kerajaan Bhoja dekat Palembang.
Beliau mengatakan bahwa "Raja dari Kerajaan Bhoja dan penguasa-penguasa di kepulauan lain
adalah penganut ajaran Buddha.
Sribhoja merupakan pusat terpenting di mana
Dhamma dipelajari. Di kota itu terdapat 1000 bhikkhu yang mempelajari dan menelaah Dhamma,
sama seperti yang diajarkan di India. Di
kerajaan Bhoja dan di kepulauan
sekitarnya, sebagian besar adalah penganut
aliran Mūlasarvāstivāda, sebagian kecil adalah penganut aliran Sammitiya dan dua aliran
lain yang baru berkembang, sedangkan di Melayu terdapat
sedikit penganut Mahāyāna. Semua aliran-aliran
di atas tergolong
aliran Hīnayāna.
Ini merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha telah masuk jauh
sebelum abad ke VII Masehi yang dikembangkan oleh dhammadūta-dhammadūta dari
aliran Sarvāstivāda, yang diduga berasal dari India Utara (Kashmir). Tetapi hal itu juga merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha Mahāyāna
telah berkembang di Melayu, sewaktu
I-Tsing datang ke Sumatera.
Mahāyāna
awalnya masuk ke Sumatera, kemudian
ke Jawa dan
ke Kamboja (Kmer). Sriwijaya adalah penganut
ajaran Buddha dan mengembangkan aliran Mahāyāna di daerah yang mereka kuasai. Pada tahun 759 M kerajaan
Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Thailand Selatan yang sekarang disebut Suratani (Suratradhani) dan Pattani.
Bentuk bangunan candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya
masih ada sampai sekarang, arca-arca Buddha dan Bodhisatta mirip dengan yang terdapat di Jawa,
misalnya Vihāra
Mahādhatu di Jawa dan Vihāra
Mahādhatu di Nakorn Si Thamarat
(Nagara Sirī
Dhammarāja).
Catatan sejarah dari Tibet menyatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke II merupakan
pusat kegiatan ajaran Buddha yang terkemuka. Atissa yang sangat terkenal, pembangkit kembali Ajaran Buddha di Tibet, dikatakan pernah datang (dari India) ke Sumatera dan berdiam
disana dari tahun 1011-1023, belajar di bawah bimbingan
Bhikkhu Dharmakīrti,
seorang Bhikkhu yang
terkemuka di Sumatera. Dalam biografi Atissa
yang ditulis di Tibet, disebutkan bahwa Sumatera merupakan pusat utama ajaran
Buddha dan Bhikkhu
Dharmakīrti adalah sarjana terbesar di zaman itu.
Kedatangan para dhammadūta ke Indonesia
mendorong banyak orang pergi ke
India,
mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat
ajaran Buddha seperti
Universitas Nalanda di Bihar yang didirikan oleh dinasti Gupta (320-606). Peziarah yang datang dari Sriwijaya tinggal dan menetap
di sana demikian
banyaknya, sehingga dibuatkan Vihāra khusus dekat Nalanda
dan Nagapattanam untuk mereka dan
raja setempat (Raja Pala dan Cola) memerintahkan rakyatnya untuk memberi bantuan. Setelah kembali ke Indonesia, mereka mendirikan
candi-candi dengan bentuk dan ukiran yang bercorak Indonesia.
Mengenai perguruan tinggi ajaran Buddha di Nalanda
tersebut dapat ditambahkan bahwa berdasarkan berita-berita yang dibuat oleh Bhikṣu Huan Tsang yang berkunjung ke India pada tahun 629-645,
dikatakan bahwa pada abad ke-7 tersebut Nalanda telah berkembang sebagai
lembaga pendidikan intelektual. Nalanda di bawah pimpinan Silabadra tidak saja
memberikan pelajaran ajaran Buddha, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab Veda,
filsafat Hindu, logika, tata bahasa, dan pengobatan. Kemudian
diberitakan bahwa Nalanda mempunyai pendukung dāna yang besar, yang
dikumpulkan dari 100 desa, termasuk dāna dari Raja Harsha pribadi,
untuk mendidik 10.000 siswa (tanpa bayaran). Nalanda juga mempunyai staf yang
banyak serta kompleks bangunan yang luas seperti yang terlihat dalam
reruntuhannya (karena serbuan bangsa Hun dan masuknya agama Islam ke India).
Dalam pemberitaannya, Bhikṣu Huan Tsang juga menyebutkan bahwa beliau mendapatkan
ajaran Buddha Hīnayāna yang sudah menyurut di India dan hanya sedikit dijumpai
di bagian barat India. Pada masa itu pengaruh ajaran Tantra sudah meluas
ke India, termasuk dalam lingkungan pendidikan di Nalanda.
Candi-candi dan ukiran yang ada di Indonesia membuktikan
bahwa pembuatnya bukanlah orang asing yang berkebudayaan asing, melainkan orang
Indonesia asli dengan mempergunakan latar belakang kehidupan masyarakat dan
kebudavaan asli. Diantaranya terdapat candi Pawon, candi Kalasan, candi Sari,
candi Sewu, candi Plaosan, candi Mendut, candi Borobudur, candi Pogo, candi
Singosari, dan lain-lain serta beberapa candi Hindu (Siwa, Brahmana, dan
Wisnu).
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah seniman religi yang
besar, hal ini terlihat juga dari puji-pujian yang diberikan oleh ahli-ahli
purbakala dari Barat. Menurut C. Elliot (Hinduism and Buddhism
Vol. IL 170), banyak relief-relief, terutama di candi Panataran tidak terlihat
adanya pengaruh India, walaupun tidak tepat namun dapat dikatakan mempunyai
ciri khas Polynesia. Keistimewaan arca-arca di Indonesia terletak pada
kehalusan dan keindahan wajah-wajah dari pribadi yang dipatungkan. Di antara
arca-arca yang ditemukan di India sulit dijumpai yang memiliki keindahan dan
kehalusan seperti arca Avalokiteṡvara di candi Mendut, arca Manjusri yang sekarang
disimpan di Museum Berlin atau seperti arca Prajṅāpāramitā yang sekarang ada di Leiden.
Prof. Dr. A.J. Bernet Kempres, bekas Direktur Dinas Purbakala Indonesia mengatakan
bahwa gambaran dan susunan ketiga arca dalam candi Mendut merupakan suatu
manifestasi alam pikiran dan kesenian Buddhis yang terbesar. Menurut
pendapatnya, sangat sedikit kelompok arca dimanapun dari negara buddhis yang
dapat menandinginya.
Bentuk ajaran Buddha semula di pulau Jawa adalah Hīnayāna, yang dikembangkan oleh Bhikkhu
Gunawarman, namun ajaran tersebut lama kelamaan terdesak oleh aliran-aliran
lain yang terus menerus masuk setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di
India. Hal ini terlihat dengan didirikannya candi Kalasan yang dipersembahkan
untuk Dewi Tara (personifikasi dari Prajṅāpāramitā menurut aliran Tantra), yang tercatat pada tahun
778 M.
Hubungan kebudayaan antara India dan Indonesia itu
menyebabkan masuknya aliran-aliran lain dari ajaran Buddha, terutama
yang telah berkembang di Bengal, yaitu Tantrayāna yang berpusat di
Universitas Nalanda. Aliran tersebut mula-mula masuk ke Sumatera, kemudian ke
Jawa. Di antara aliran yang masuk tersebut, terdapat aliran Tantrayāna,
terutama menjelang hancurnya Universitas Nalanda,.
Kitab-kitabnya masih terdapat pada masa sekarang, seperti
Sang Hyang Kamahayanikan. Sang Hyang Kamahayanikan menguraikan
ajaran Mahāyāna dan Tantrayāna dengan baik. Dari catatan epigraphic
diketahui, bahwa salah seorang dari Raja Sailendra di Jawa mempunyai guru
bernama Kumaraghosa dari negeri Gauda (Bengal). Hal tersebut menyebabkan
berkembangnya Tantrayāna di Jawa.
Demi baktinya kepada guru, salah seorang Raja Sailendra
mempersembahkan candi untuk pemujaan Dewi Tara yang sekarang disebut candi
Kalasan, yang konstruksinya sama dengan candi-candi yang terdapat di Kamboja.
Agama Hindu yang datang ke Indonesia ialah suatu bentuk
penyembahan Siwa. Tetapi oleh karena data-data mengenai awal zaman Hindu - Jawa
ini tidak lengkap, maka sulit untuk mengetahui penyembah Siwa seperti apa yang
mula-mula datang ke Indonesia. Karena terdapat banyak aliran agama Siwa, di
antaranya aliran Pasupata, aliran Kalamukha, aliran Linggayat, aliran Saiwa
Sindhata, dan lain-lain. Pada zaman berikutnya, tampaknya aliran Saiwa Sidhanta
yang semakin berpengaruh di Jawa. Hal ini dapat diketahui dari perpustakaan
Hindu-Jawa yang hingga kini masih ada. Seperti salah satu naskah yang bernama
Bhuwanakosa, menyebutkan "Jnana siddhanta sastram".
Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah
agama Siwa yang telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yang mengajarkan
penjelmaan atau penumbuhan Brahman (zat pertama, asas segala sesuatu) dalam
beberapa tingkatan, dari tingkatan yang halus hingga yang kasar. Penjelmaan
atau penumbuhan ini dimungkinkan karena adanya kesaktian atau daya kekuatan
atau kuasa yang dinamis di dalam Brahman itu.
Disamping agama Siwa, ajaran Buddha juga datang ke
Indonesia. Meskipun ajaran Buddha yang datang adalah dari aliran Hīnayāna, namun pada abad ke-8, aliran Mahāyāna
yang menjadi lebih berpengaruh di Jawa. Dapat dikatakan bahwa di Jawa sampai
akhir zaman Hindu, terdapat dua agama negara yang diakui, yaitu agama Siwa dan
ajaran Buddha Mahāyāna.
Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira
pertengahan abad ke-15 M, kepustakaan Hindu-Buddha di Jawa mengalami
zaman emasnya. Naskah-naskah agama Siwa yang menjadi sumber pengetahuan tentang
ajaran kepercayaan Hindu-Jawa menerbitkan buku-buku pegangan bagi pelaksanaan
yoga dalam agama Siwa, yang bermaksud untuk memberi sarana yang cocok kepada
para murid supaya dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, dengan Siwa.
Naskah-naskah ajaran Buddha Mahāyāna
menyebut dirinya sebagai buku-buku pelajaran ajaran Buddha dari aliran Mantrayāna,
yaitu suatu aliran Mahāyāna yang mementingkan mantra-mantra
sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan. Juga terdapat sebuah buku yang
berisi suatu amanat yang diberikan oleh seorang guru kepada seorang murid
setelah upacara penahbisannya.
Demikianlah keadaan kepustakaan Hindu-Jawa pada zaman
Siwa dan zaman Buddha Mahāyāna menguasai Jawa.
Sumber: http://www.buddhakkhetta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar