Kamis, 26 April 2012

Sejarah Agama Budha di Indonesia

Mataram
Piagam yang tertua yaitu sekitar tahun 732, ditemukan di desa Canggal, keresidenan Kedu. Dalam piagam tersebut diterangkan bahwa, di dekat desa Salam, sebelah Selatan Muntilan, didirikan sebuah tempat suci yang berisi lingga. Sebagian dari piagam tersebut berbunyi seperti berikut ini :

"Putera Sanna yang mulia, dihormati oleh banyak sarjana yang selalu mengetahui inti sari kitab-kitab. Seorang. raja di puncak keberanian dan kebaikkannya yang seperti Raghu telah merampas beberapa daerah raja yang dekat. Baginda Raja Sanjaya, berseri sebagai matahari, terkenal hingga seluruh pelosok dunia, sekarang memerintah negara dalam persatuan yang tidak dapat dipecahkan bersama kakak perempuannya secara adil. Dan beliau sedang memerintah dunia yang bertali pinggang samudra berombak-ombak dan berdada gunung, dengan rakyat tiada takut akan penyamun dan bahaya lain, berbaring di tengah-tengah jalan raya hendak tidur. Dan orang-orang yang namanya sangat baik, memiliki yang baik, yang berguna dan yang enak dirasakan. Barangkali tidak berbuat lain dari pada menangis, karena tiada bagian yang ketinggalan baginya".

Dalam piagam disebutkan seorang kakak perempuan Sanjaya dan diterangkan pula keadaan tata tertib selama beliau memerintah. Semua itu, jika dihubungkan dengan keadaan Kalingga akan menimbulkan pertanyaan, adakah hubungan antara Kalingga dengan Sanjaya? Menurut Rouffaer, hubungan itu mungkin ada dan Sima itu barangkali seorang saudara perempuan Sanjaya yang ikut memerintah negara. Tetapi tidak ada informasi lain untuk membuktikan dugaan itu.

Tempat suci yang berisi lingga (salah sebuah lambang Siwa) di dekat Salam itu dapat dianggap sebagai tanda mendirikan suatu kerajaan yang disebut Mataram, karena raja ini (Sanjaya) di dalam piagam-piagam kemudian disebut "Rake Mataram". Mataram mula-mula merupakan nama daerah kecil yang diperintah oleh Sanjaya, yang kemudian dijadikan nama kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya.

Di dalam piagam-piagam itu diterangkan bahwa, pusat pemerintahan ada di Medangbhumi Mataram, tetapi dimana letak tempat ini, sampai sekarang masih belum diketahui.

Keadaan politik kerajaan ini sukar diketahui. Menurut cerita yang terdapat dalam "Cerita Parahyangan", Sanjaya banyak mengadakan peperangan dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya untuk meluaskan daerahnya, merampas Sriwijaya, bahkan hingga Kasmir di Birma, dan ke Timur hingga ke Bali. Berita itu perlu dibuktikan dengan bukti-bukti sejarah lebih lanjut.

Yang dapat diketahui dengan pasti yaitu, nama raja-­raja, arti beberapa candi, dan hadiah-hadiah berupa tanah kepada desa, biara, dan orang.
Pengganti Sanjaya adalah Pancapana, Rake Panangkaran. Gelar Rake Panangkaran lebih terkenal dari pada namanya, Pancapana. Sanjaya sendiri adalah penganut agama Brahma, sedangkan Pancapana adalah penganut agama Buddha, yaitu Mahāyāna.

Pada tahun 778, Pancapana mendirikan Candi Kalasan untuk memuji Dewi Tara, seorang Dewi dalam agama Buddha Mahāyāna. Menurut piagam, di candi itu ada patung Dewi Tara, tetapi patung itu telah hilang. Candi-candi lain dari zaman itu adalah Candi Borobudur (dekat Muntilan), Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Sari. Dinasti raja-raja Mataram ini disebut Sailendra. Bukti bahwa mereka berasal dari keturunan Sailendra terdapat dalam piagam yang berhubungan dengan Candi Kalasan, yang menyebut nama "Sailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rake Panangkaran".

Kerajaan Mataram mengadakan hubungan baik dengan Sriwijaya di Sumatera, dalam bidang politik dan kebudayaan. Raja-raja Sriwijaya juga berasal dari keturunan Sailendra.

Raja-raja yang menggantikan Raja Pancapana berturut-turut adalah Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Qatu Humalang dan akhirnya empat orang yaitu Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa. Keadaan politik pada waktu itu kurang jelas. Hanya dapat dikatakan bahwa Daksa mungkin telah mendirikan Candi Lara Jonggrang atau Candi Prambanan untuk menyimpan abu jenazah Balitung. Candi-candi lain yang dapat dihubungkan dengan Dinasti Sailendra adalah candi-candi yang terdapat di tanah datar, Dieng, dan Ungaran, yaitu Gedong Sanga. Walaupun tanah datar tinggi Dieng itu telah disebut-sebut dalam berita-berita yang didapat dari sumber-sumber dari China, tetapi candi tertua di Dieng dibuat pada tahun 809. Candi-candi lain adalah Candi Selagriya di lereng Gunung Sumbing dan Candi Pringapus di lereng Gunung Sindoro.

Sekitar waktu itulah agama Buddha Mahāyāna datang ke Indonesia dan seterusnya berkembang berdampingan dengan agama Siwa yang telah datang lebih dahulu. Penganti-pengganti Raja Pancapana, banyak yang memeluk agama Buddha dan Siwa.


Agama Buddha Mahāyāna

Pada mulanya, agama yang masuk ke In­donesia adalah agama Brahma, kemudian disusul oleh agama Buddha Hīnayāna yang dibawa oleh Gunawarman, seorang ulama dari Kashmir. Selama tiga abad, agama Buddha Hīnayāna yang terkenal, salah satu penganutnya adalah Jnanabhadra, yang hidup pada abad ke-tujuh. Kemudian pada permulaan abad ke-delapan, antara tahun 700 dan 750, datanglah agama Buddha Mahāyāna. Raja Sanjaya adalah seorang penganut agama Siwa, sedang Raja Pancapana adalah penganut agama Bud­dha Mahāyāna. Kedua raja ini hidup pada permulaan abad ke-delapan. Agama Buddha Mahāyāna datang dari Benggala. Pada waktu itu, kota Nalanda di Benggala dengan perguruan tingginya menjadi pusat agama Buddha Mahāyāna. Banyak ulama dari sana datang ke In­donesia, terutama ke Sumatera dan Jawa. Tidak lama kemudian mereka sudah mendapat banyak pengikut di kedua pulau tersebut.


Sriwijaya

Di Sumatera terdapat sebuah kerajaan yang pada abad kelima berpusat di Palembang. Kemudian meluaskan jajahannya hingga Bangka dan semenanjung Malaya. Kerajaan ini mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan kerajaan Mataram yang diperintah oleh Dinasti Sailendra.

Para ahli sejarah berpendapat bahwa terdapat perselisihan antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mataram. Terdapat pendapat bahwa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diperintah oleh Raja Sanjaya, yang beragama Brahma, pada tahun 778 dirampas oleh Raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra yang beragama Buddha Mahāyāna, yaitu Raja Pancapana. Bukti-buktinya adalah pada waktu itu penulis-penulis sejarah bangsa Tionghoa tidak pernah menceritakan duta-duta yang datang dari Jawa Tengah. Ini menandakan bahwa Jawa Tengah sedang dibawah kekuasaan asing. Tetapi pendapat ini disangkal dengan alasan bahwa di Sumatera tidak terdapat candi-candi yang besar dari zaman Sailendra seperti yang terdapat di Jawa Tengah, misalnya Borobudur dan Kalasan. Selain itu, dalam piagam-piagam yang terdapat di Sumatera pada waktu itu terlihat bahwa bahasa Sansekerta telah terdesak oleh bahasa Melayu Kuno. Sedangkan piagam-piagam yang terdapat di Jawa Tengah pada waktu itu tertulis dalam bahasa Sansekerta. Huruf yang dipakai dalam piagam-piagam di sekitar pusat kerajaan Sriwijaya adalah huruf Pallawa, sedangkan yang dipakai di Jawa Tengah adalah huruf Nagari.

Karena raja-raja kerajaan Sriwijaya dan raja-raja kerajaan Mataram sama-sama berasal dari keturunan Sailendra, maka muncul pertanyaan, dari manakah keturunan Sailendra itu? Anggapan bahwa Dinasti Sailendra itu berasal dari Sumatera dan merampas Jawa Tengah dengan menaklukkan kerajaan Mataram adalah tidak benar. Anggapan bahwa kerajaan Sriwijaya dirampas oleh Sanjaya, keturunan Sailendra, juga belum dapat dibuktikan. Maka, disimpulkan bahwa hubungan yang ada itu mungkin disebabkan oleh pertalian saudara, misalnya perkawinan, jadi bukan karena pertempuran dan perampasan.

Pada tahun 891, seorang raja keturunan Sailendra dari kerajaan Sriwijaya, bernama Balaputra memberi perintah untuk membuat sebuah vihāra di dekat kota Nalanda bagi ulama-ulama dari Sumatera. Raja itu menyebut dirinya sebagai keturunan dari Sailendra di Jawa.


Gajayana

Menurut piagam yang terdapat di Dinava dekat Malang, di sana dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah, terdapat sebuah kerajaan yang menunjukkan pengaruh India. Rajanya yaitu Gajawana, memberi perintah untuk membuat piagam itu pada tahun 760. Ibukota kerajaan itu ada di sekitar Dinava. Piagam itu menerangkan suatu pendirian suci (tempat suci) untuk menghormati Agastya, yaitu seorang dewa yang mempunyai kedudukan di Selatan. Candi yang sekarang masih ada, yakni Candi Badut, terletak lebih kurang empat kilometer di sebelah barat kota Malang. Candi itu mempunyai sifat-sifat yang berhubungan dengan candi-­candi yang terdapat di Jawa Tengah.


Empu Sindok

Keadaan Kerajaan Mataram sesudah Raja Pancapana belum jelas, yang diketahui hanya daftar raja-raja yang memerintah secara berturut-turut.

Menurut Stutterheim, Raja Balitung bukan lagi seorang keturunan Raja Pancapana, tetapi mungkin orang Jawa Timur asli yang dapat memangku mahkota, mungkin karena perkawinan. Pengganti-pengganti Raja Balitung hingga Raja Tulodong masih tetap memerintah di Jawa Timur yaitu Raja Wawa. Nama Raja Wawa hanya terdapat di dalam piagam-piagam yang terdapat di Jawa Timur. Raja Wawa diganti oleh Empu Sindok yang mula-mula menjabat sebagai patih Wawa.

Empu Sindok memerintah antara tahun 929-947, bahkan mungkin lebih lama lagi. Empu Sindok adalah raja yang pertama kali menyebut "keraton raja-raja yang telah mangkat di Medang di Mataram" di dalam piagamnya.

Kerajaan Sindok meluas hingga Surabaya, Kediri, dan Pasuruan. Di bawah pemerintahannya yang lama itu, kerajaan mengalami kemakmuran dan kemajuan. Di dalam piagamnya diterangkan bahwa, Sindok telah mengalahkan banyak raja-raja sekitarnya dan namanya sangat terkenal.

Nama Sindok sebagai raja yaitu, Sri Maharaja Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Keturunannya memerintah hingga tiga abad lamanya. Sesudah beberapa tahun menjadi patih atau bendahara, maka beliau naik tahta. Yang menarik perhatian, adalah kesukaannya untuk mendirikan tempat-tempat suci. Ini terbukti dari piagam-piagam yang ada, yang menerangkan tentang hadiah­-hadiah kepada agama Buddha Mahāyāna. Karena berjasa, maka nama Sindok disebut dalam kitab suci Mahāyāna yaitu Sang Hyang Kamahayanikan.

Sindok tidak memerintah seorang diri, tetapi bersama dengan Parameswarinja, putera seorang bangsawan yang berpangkat tinggi, bernama Rakrvan Bavsang. Ini menunjukkan kedudukan kaum ibu yang tinggi pada waktu itu.

Sindok memiliki puteri yang bernama Sri Isanatunggawijaya, yang menggantikan ayahnya sebagai raja perempuan. Suaminya bernama Lokapala. Sri Isanatunggawijaya digantikan oleh puteranya yang bernama Makutawangsawardhana, yang digantikan lagi oleh puteranya yaitu Mahendratta, seorang putri. Mahendratta bersuamikan seorang Raja Bali, Dharmodayana dan mempunyai putera bernama Erlangga.

Mahendratta dan Dharmodayana tidak memerintah di Jawa Timur, tetapi di Bali. Mereka ada di bawah kekuasaan Makutawangsawardhana dan Dharmawangsa yang memerintah di Jawa Timur.

Sejak Makutawangsawardhana, keturunan Sindok tidak lagi memeluk agama Buddha Mahāyāna - melainkan Hindu (Wishnu).


Dharmawangsa

Sesudah Makutawangsawardhana, yang berkuasa di Jawa Timur adalah putera-puteri Makutawangsawardhana, yaitu Mahendratta yang bersuamikan Dharmodhyana, berkedudukan di Bali, sehingga tidak berkuasa di Jawa Timur.

Siapakah Dharmawangsa dan bagaimanakah hubungannya dengan Makutawangsawardhana dan Mahendratta? Mungkin beliau adalah putera Makutawangsawardhana atau saudara laki­ laki Mahendratta. Tetapi pendapat lain menyatakan bahwa Dharmawangsa bukan keturunan Sindok. Dharmawangsa adalah raja yang paling terkenal, baik dalam bidang politik maupun kebudayaan. Beliau bukan raja yang suka damai. Beliau senantiasa mencoba meluaskan daerahnya. Pada tahun 977, beliau mencoba merampas Wuri-Wara yang terletak. di semenanjung Malaya, pada tahun 992 beliau menyerang Kerajaan  Sriwijaya di Palembang. Mengapa Dharmawangsa berbuat demikian?

Pada waktu itu Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keturunan Sailendra, sangat berkuasa, menguasai seluruh pantai Timur Sumatera, pulau-pulau yang ada didekatnya dan semenanjung Malaya. la berhasil memerangi Kamboja dengan baik sehingga menguasai seluruh lautan Tiongkok Selatan. Kerajaan Sriwijaya juga mengadakan hubungan dengan India. Hubungan itu tidak hanya disebabkan oleh perdagangan, tetapi juga agama. Di Sriwijaya berkembang agama Buddha Mahāyāna. Banyak pelajar-pelajar dari Sumatera pergi ke perguruan tinggi di Nalanda di Benggala. Kerajaan ini terkenal hingga negeri Arab. Pada waktu itu, Sumatera terkenal sebagai negeri timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kapur barus yang diperdagangkan di seluruh Asia. Pada waktu itu, di sebelah Barat, perdagangan berpusat di Kanbay di Gujarat, sedangkan di Timur berpusat di Kanton. Sumatera terletak di tengah-tengah perjalanan antara kedua tempat tersebut, sehingga Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi sangat besar. Pada tahun 971, ketika Tiongkak sudah kembali damai dan aman, kota Kanton dibuka oleh raja pertama dari keturunan Sung untuk perdagangan, pedagang-pedagang yang selalu datang ke Kanton yaitu dari daerah Kedah, di Semenanjung Malaya, dari Philipina, Kalimantan Barat, dan Sriwijaya.

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu menghalangi berkembangnya Kerajaan Dharmawangsa. Sesudah menguasai Kalimantan Barat, Dharmawangsa hendak mengadakan serangan terhadap Sriwijaya, tidak diketahui bagaimana akhir dari serangan itu. Hingga pada tahun 992, utusan yang ada di Tiongkok mendapat kesukaran untuk kembali ke Sumatera. Pembalasan atas perbuatan Dharmawangsa akan diketahui kemudian.

Dalam bidang kebudayaan, Dharmawangsa juga sangat giat. Dharmawangsa memerintahkan untuk menyusun undang-undang dan mempelajari kesusasteraan. Buku bahasa Sansekerta diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, isinya terbuka bagi rakyat Indonesia. Hal itu sangat berarti, karena sebelum pemerintahan Dharmawangsa, segala sesuatu dari India hanya dapat diketahui oleh mereka yang pandai bahasa Sansekerta, terutama para brahmana. Setelah pemerintahan Dharmawangsa, isi Mahabrata dapat diketahui oleh setiap orang.


Erlangga

Erlangga mula-mula ada di Bali bersama dengan orangtuanya yaitu Mahendratta dan Dharmodayana (Udayana), tetapi sesudah menikah dengan putera-puteri Dharmawangsa, beliau menetap di Jawa Timur, di istana mertuanya dengan suatu pangkat, Erlangga dicalonkan untuk menggantikan mertuanya. Akan tetapi, sebelum dapat menjadi raja, Erlangga harus mengalami kesulitan-­kesulitan terlebih dahulu. Kesulitan-kesulitan itu adalah akibat perbuatan Dharmawangsa sendiri. Kerajaan Sriwijaya tidak lupa akan serangan yang dilakukan oleh Dharmawangsa kepada Kerajaan Sriwijaya pada tahun 992 sehingga Kerajaan Sriwijaya berniat untuk membalas dendam. Dengan bantuan banyak raja yang tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya, pembalasan dendam itu berjalan baik. Erlangga baru berumur 13 tahun dan hidup di dalam istana, tiba-tiba datanglah serbuan musuh dari luar, membunuh semua yang ada di keraton. Musuh yang menyerbu itu terkenal sebagai Raja Wura-Wari. Di mana letak kerajaannya masih belum diketahui. Mungkin di Jawa atau di Malaka yaitu Ganggayu, sedangkan ibu kota lwaram, terletak di Johor.

Raja Dharmawangsa meninggal dalam pertempuran. Keraton sudah dibakar habis, ditinggalkan oleh musuh dengan hanya diikuti oleh beberapa pegawai istana yang setia di antaranya Narottama, Erlangga bersembunyi di daerah Wonogiri. Banyak rintangan yang harus diatasi oleh Erlangga dalam perjalanan itu. Akhirnya ia mendapat perlindungan dari para pertapa dan para Paderi. Erlangga harus bersembunyi cukup lama dan selama itu tidak diketahui apa yang akan terjadi dengan dirinya, banyak pertolongan yang diperoleh Erlangga dari para pertapa, dan untuk menyatakan rasa terima kasihnya, Erlangga berjanji akan mendirikan bangunan-bangunan bagi kepentingan para pertapa. Janji itu kemudian benar-benar dipenuhi.

Musuh yang menyerang Dharmawangsa dari luar itu adalah Kerajaan Sriwajaya, tetapi bukan dilakukan sendiri oleh Kerajaan Sriwijaya. Di dalam piagam yang berhubungan dengan kejadian itu, disebutkan seorang raja dari Wura-wari.

Merupakan keberuntungan bagi Erlangga, karena Kerajaan Sriwijaya mengalami masalah sesudah membinasakan Kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1023-1024, Kerajaan Sriwijaya tiba-tiba diserang oleh Raja Rajendra dari Colamandala (India). Pada waktu itu Raja Rajendra memang berniat untuk menguasai jalan perdagangan melalui selat Malaka dengan menaklukkan raja-raja di sekitar selat itu dan di sepanjang pantai Benggala. Walaupun telah mendapat pukulan yang hebat, keturunan Sailendra masih dapat melanjutkan Kerajaan Sriwijaya hingga tiga abad lamanya.

Di dalam pengasingan itu, Erlangga selalu melatih diri baik rohani maupun jasmani. Hidup bertapa dengan aturan-aturan yang diberikan oleh para Paderi menurut ajaran kaum Brahma, dijalankan oleh Erlangga dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, hasrat yang besar dan kuat terbentuk di dalam sanubari Erlangga, hasrat untuk mencapai cita-citanya. Tetapi menurut para ulama pada waktu itu, latihan itu artinya lebih dari sekedar untuk memperbesar dan memperkuat kemauan atau hasrat saja. Menurut pendapat mereka, dengan latihan itu, Erlangga mencapai kesaktian untuk berbuat sesuatu yang aneh yang tidak bisa dikerjakan oleh orang biasa, hanya dengan kesaktian itulah Erlangga akan dapat menjadi raja besar dan mulia.

Setelah mengalahkan beberapa musuh, Erlangga menjadi raja pada tahun 1010. Tetapi penobatan resmi baru dilakukan pada tahun 1019, dilaksanakan oleh para ulama Buddha, Siwa, dan Kaum Brahma. Beliau mendapat gelar resmi Sri Maharaja Rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Anantawikrama-tunggadewa.

Mula-mula daerah kekuasaan Erlangga cukup terbatas. Beliau hanya memerintah daerah kecil dengan Surabaya. Kesempatan baik dipergunakan oleh Erlangga setelah penyerbuan terhadap Kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Raja Rajendra dari Colamandala. Pada tahun 1030 Erlangga berusaha mengalahkan Kerajaan Wengker (Panaraga), tetapi belum berhasil. Maka beliau terlebih dahulu menaklukan raja-raja yang lain, di antaranya adalah raja-raja di Mahasin dan tempat-tempat lain, misalnya Barat dan Galuh, tetapi di mana letak tempat-­tempat itu sekarang tidak dapat diketahui. Pada tahun 1032, semua raja-raja di sekitarnya menyerah. Erlangga mulai lagi menyerang Kerajaan Wengker dengan rajanya yang bernama Wijaya. Sesudah tiga tahun lamanya berperang, Raja Wijaya tertangkap dan dibunuh (tahun 1035). Tetapi dua tahun kemudian, pada tahun 1037, Erlangga baru dapat menguasai seluruh Jawa Timur. Erlangga tidak meluaskan daerahnya lebih daripada Jawa Timur. Erlangga mengadakan hubungan persahabatan dengan Kerajaan Sriwijaya dan persahabatan itu bertambah erat dengan perkawinan seorang raja Sumatera dengan seorang puteri Jawa Timur. Walaupun kerajaan Erlangga hanya terbatas kepada Jawa Timur saja, tetapi namanya sangat terkenal dan pengaruhnya diakui hingga luar Jawa Timur.

Tidak diketahui secara pasti di mana letak keraton Erlangga. Mula-mula istananya (tahun 1021) di Wawatan Mas, kemudian (tahun 1037) di Kahuripan. Perhatian dan usaha Erlangga tidak terbatas begitu saja. Kemakmuran negara dan rakyat selalu menjadi perhatiannya. Hal ini terbukti dari usahanya menolong rakyat di dekat Wringin Sata (sekarang tempat itu dinamakan Wringin Pitu) yang sangat menderita oleh karena tertimpa bencana yang disebabkan oleh air bah dari sungai Brantas di tempat-tempat tersebut, sehingga penduduk tidak dapat membayar pajak. Dengan bantuan Erlangga, maka tanggul yang bobol tersebut dapat diperbaiki lagi, sehingga banyak desa dan tanah terhindar dari bencana air. Dan pedagang-­pedagang di Hujung Galuh (Surabaya) tidak lagi terganggu oleh naik turunnya air di sungai Berantas serta lebih memudahkan lalu lintas di sungai.

Kesusasteraan Indonesia pada waktu itu mulai berkembang. Tulisan yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa, berupa Kakawin. Ceritanya diambil dari Mahabrata. Arjuna Wiwaha itu merupakan lambang riwayat hidup Erlangga.


Kertanegara

Kertanegara adalah keturunan Ken Arok yang mendirikan Kerajaan Singosari, yang riwayatnya diuraikan dalam kitab-kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Beliau adalah raja yang pertama yang menguasai Panjalu dan Janggala, yang kemudian  disatu kembali setelah dipecah oleh Erlangga.

Setelah mengadakan konsolidasi di lingkungan kerajaan, Kertanegara mulai mengirimkan tentaranya ke luar Jawa seperti ke Bali (tahun 1284) dan Malayu, Batanghari dan Pagaruyung (tahun 1275). Kerajaan Sriwijaya di Palembang kelihatannya membiarkan tindakan Kertanegara di Sumatera. Beberapa bukti tentang ekspedisi Kertanegara ke Sumatera tersebut misalnya piagam pada sebuah patung Amoghapasa berangka tahun 1286 di Padang Roco (hulu sungai Jambi).

Kertanegara juga mengadakan hubungan dengan kerajaan di Indocina yaitu Jaya Simhawarman III (Raja Campa) berdasarkan piagam Annam berangka tahun 1306. Dijelaskan dalam piagam tersebut bahwa Jaya Simhawarman III mempunyai dua orang istri dan menurut penelitian, salah satu di antaranya adalah saudara Raja Kertanegara.

Kekuasaan dinasti Mongol di China di bawah Kubhilai Khan meluaskan pengaruh ke arah Selatan (Campa, Annam, dan Indo­nesia). Sejak tahun 1280 utusan China sudah datang ke Singosari dan minta kepada Raja Kertanegara untuk mengakui China. Raja Kertanegara mengulur diplomasi dan terjadi krisis pada tahun 1829 di mana wajah Mengki (utusan Kubhilai Khan) dilukai. Tentara China dikirim ke Singosari pada tahun 1292 untuk menghukum Raja Kertanegra, tetapi Raja Kertanegara sudah meninggal dunia karena pemberontakan oleh yang dilakukan oleh Jayakatwang.

Kedatangan tentara China yang tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Singosari itu kemudian "dimanfaatkan" oleh Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan seorang menantu Raja Kertanegara, untuk memukul kembali Jayakatwang.

Kitab Pararaton menggambarkan Raja Kertanegara dengan cara yang bertolak belakang dengan kitab-kitab Negarakertagama. Pada zaman Kertanegara diakui dua agama resmi yang masing-masing dikepalai oleh seorang dharmadhyaksa. Selain mereka, juga dikenal seorang Paderi istana dengan gelar Mahabrahmana yang memahami isi kitab Reg-Veda. Abu Kertanegara disimpan di Candi Jawi yang terdiri dari dua bagian, bagian atas tempat arca Akshobhya dan bagian bawah tempat arca Siwa. Candi ini rusak pada tahun 1331 karena sambaran petir.

Dalam prasasti Joko Dolog di Surabaya, disebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah penulis kitab Rajapati Gundala yang berisi aturan agama untuk Yogiswara (yang menjalankan yoga). Agama Buddha yang dianut Kertanegara adalah aliran Tantra (Bhairawa), beliau menerima penahbisannya dan sekaligus dianggap sebagai Jina Mahashobhya. Patung Joko Dolog tersebut dimaksudkan untuk menawarkan pengaruh kesaktian Empu Barada yang membagi dua Kerajaan Erlangga.

Sumber: http://www.buddhakkhetta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More