1. Sejarah Perkembangan Nichiren Shosu
Nichiren shoshu adalah adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepangpada abad ke-13. yang dipelopori seorang pembaharu yakni bikhu Nichiren Daishonin (1222-1282). Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang. Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren Shoshu.
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam terminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni meninggal, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo.
Sastra adalah penjelasan, penguraiaan, pemaknaan dari sebuah sutra. Kumarajiva adalah seorang bhikku dari India yang menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Beliau adalah salah satu peterjemah sutra dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa yang sangat terkenal dan terpercaya. Kumarajiva diyakini mampu "memindahkan" makna sutra dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa dan karya agung beliau tersebut sampai saat ini masih ada dan masih diterbitkan dalam buku di Jepang dan Taiwan. Sebagai "bukti" hal tersebut, ketika beliau wafat dan di kremasi, lidah beliau, tidak bisa terbakar.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa Saddharma Pundarika Sutra disebut Miao Hua Lien Hwa Cing dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, Myohorengekyo atau Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Buddha Nichiren Daishonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Februari 1222 di desa kecil Kominato, Provinsi Awa (sekarang daerah Chiba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhikkhu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan nama Zesho-bo Renco.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.
Yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Budha kepada bentuk yang murni yang akan menjadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang, dan menolak ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.[1] Pemimpin yang memiliki karismatik. Ia mengajarkan bahwa keselamatan dapat didapat atau dicapai dengan mengucapkan dengan kata-kata suci. Beliau juga tidak ragu-ragu untuk mengeritik orang lain. Dengan mempunyai spritual yang tinggi ia dapat mengetahui tentang ramalan bahwa bangsa mongo; akan menyerang kekerajaan jepang.
Nichiren mula-mula mempelajari agama Budha melalui ajaran-ajaran sekte tendai. Dari hasil studinya itu, ia menyadari bahwa agama Budha sudah terpecah-pecah dan memperlemah dengan munculnya beranekan macam sekte, dan oleh keinginan-keinginan duniawi para pendeta agama Budha.[2] Ia beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari ajaran sakyamuni yang asli oleh karena itu tujuan utama Nichiren adalah mengembalikan agama Budha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat.
Nichiren berkeyakinan bahwa ajaran Budha yang murni hanya terdapat dalam lotus sutra yang ditulis beberapa abad sesudah masa sakyumi. Kitab sutra tersebut kemudian dijadikan kitab utama yang menjadi dasar ajaran yang dikemukakannya.
Ajaran-ajaran Nichiren Shoshu
Pada usia 23 tahun, ia kembali mennuju Seichoji. Pada tanggal 28 April 1253, Ia memberikan cerama mengenai hasil terpenting dari studinya selama ini kepada para Sangha dan para Petani yang telah berkumpul di Seichoji. dalam ceramanya tersebut Ia mendeglarasikan bahwa Nammyohorengekyo adalah satu-satunya ajaran dimasa mutakhir yang dapat membimbing umat manusia mannuju pencapaian Budha pada masa hidupnya.
Dalam kesempatan itu ia memproklamirkan dirinya sebagai sebagai Bhikhu muda Nichiren Doisyonin pendiri agama Budha Nichiren Shoshu. Kata Nichiren terdiri atas dua kata yaitu: kata Nichi artinya matahari dan Ren artinya teratai. Jadi Nichiren adalah Teratai Matahari. Selanjutnya Ia mendapatkan gelar penghargaan dari umatnya “Daisyonin” yang artinya gelar kehormatan besar bagi kebijaksanaan dan kesuciaan.
Dengan deklarasi itu Nichiren menolak faham-faham yang selama ini berkembang di Jepang dan mengecam keras sekte Budha lainnya. seperti Amidaisme, zen, Nembutsu, shigon dan ritsu. Menurutnya semua faham tersebut telah menyebabkan ketidakbahagiaan umat manusia. Nichiren ingin mengembalikan agama Budha kepada ajaran murni yang dijadikan dasar perbaikan masyarakat.
Pada bulan juli 1257 jepang dilanda bencana alam yang sangat hebat. Gempa silih berganti, kemarau yang berkepanjangan, kelaparan dan wabah penyakit yang menjangkit hampir di seluruh negeri sehingga menghasilakan banyak korban. Pemerintah kebingungan dan doa-doa yang dikirimkan dari kuil dan para Bhikhu semua tidak efektif dan tidak mampu menghentikan bencana.
Nichiren doisyonin menyiapkan bukti dokumentasi mengenai sebab-sebab terjadinya malapetaka tersebut dan kebijaksanaan untuk menyelesaikan berdasarkan faham ajaran Budha, dengan mengadakan riset. Pada tanggal 16 juli 1260, Nichiren Doisyonin mengerjakan tesis yang berjudul “Risho Ankoku Ron” yang artinya “menegakkan hukum sakti, serta menentramkan dan mensejatrahkan masyarakat” dalam tesis ini Ia menjelaskan bahwa terjadinya malapetaka di seluruh negeri disebabkan karena bangsa Jepang menfitnah Hukum Sakti atau hukum yang benar dan percaya kepada ajaran yang salah yaitu percaya kepada Budha Amida. Kemudia pada tesisnya juga meramalkan bahwa dua bencana besar akan menumpa Jepang, yaitu invasi luar negeri dan perang saudara akan semakin meluas, namun Nichiren juga memberikan harapan bahwa jika pola kehidupan masyarkat jepang sesuai dengan hukum yang benar, maka kedamaian dan kesentosaan akan memberkahi negara.
Akan tetapi pemerintah tidak menghiraukan peringatan dan harapan itu, bahkan pada tanggal 27 agustus 1260 pemerintah bekerjasama dengan para Bhikhu Nembutsu untuk membunnuh Nichiren Doisyonin, namun Nichiren Doisyonin berhasil selamat. Pada tanggal 18 januari 1268 surat Kubilai Khan tiba di Jepang dengan tuntutan Jepang harus takluk pada kerajaan mongol dan membayar upeti atau akan diserang apabila tidak memenuhi tuntutan tersebut. Surat dari kerajaan monggol menjadikan bukti dari ramalan Nichiren Doisyonin, kemudian Ia mengirim surat kepada pemerintah agar kembali ke prinsip Risso Aknkoku Ron. Dan mendesak agar meninggalkan kepercayaannya yang sesat serta meminta untuk membuktikan ajaranya.
Pada tahun 1271 seluruh negeri dilanda kemarau yang sangat panjang, dari pemerintah meminta Ryokan dari kuil Gokuraku, seorang Bhikhu dari dari sekte Shigon-Ritsu untuk berdoa agar turun hujan, mendengar hal ini Nichiren Doisyonin menantang Ryokan bahwa beliau bersedia menjadi murid Ryokan jika ia berhasil menurunkan hujan, tapi sebaliknya apabila ia gagal maka Ryokan akan menjadi murid Nichiren Doisyonin. namun doa yang dibacakan Ryokan tidak berhasil menurunkan hujan dan Dia tidak memenuhi janjinya.
1. Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo: yang berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Budha yang paling luhur”. Dengan kata lain “mengabdikan dirinya terhadap semua realitas hidup kepada alam semesta. Nichiren Doisyonin berpendapat bahwa hanya dengan hanya dengan menyatuh dengan alam semesta akan mencapai kebahagiaan mutlak. Kata Nam-myoho-renge-kyo bukan hanya semata-mata bacaan akan tetapi seperti doa yang akan berdampak kepada perbuatan.
2. Gohonzon
Dohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan yang telah diajarkan Nichiren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap yang percaya kepada Nichiren dan ajaran-ajarannya yang benar. Sebagi suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang dimana saja, dia mengukir Dai-Gohonzon agung. Yang kini ditempatkan di ruangan utama Sho-Hondo dari Daiseki-ji, Kuil utama Nichiren Shoshu. Siapapun yang bertawakal pada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoko-renge-kyo kepadanya maka dia akan merasa roh individunya akan menyatuh dengan roh semesta.
3. Teori kaidan
Kaidan adalah suatu balai Budhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. dalam ajaran Budhisme Nichiren Doishonin kaidan merupakan tempat pusat pemujaan dimana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka untuk mengubah hidup mereka untuk memperbaikan diri dan seluruh umat manusia dengan cara membersihkan dari karma yang menyedihkan melalui kekuatan Dai-Gohonzo yang maha besar.
3. Teori kaidan
Kaidan adalah suatu balai Budhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. dalam ajaran Budhisme Nichiren Doishonin kaidan merupakan tempat pusat pemujaan dimana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka untuk mengubah hidup mereka untuk memperbaikan diri dan seluruh umat manusia dengan cara membersihkan dari karma yang menyedihkan melalui kekuatan Dai-Gohonzo yang maha besar.
Nichiren Shosu di Indonesia
Nichiren Shoshu mulai berkembang luas di Jepang, setelah Perang Dunia II di bawah pendudukan tentara Amerika, yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut membentuk organisasi massa umat awan bernama Sokagakai dan kemudian menjadi wadah dan motor penggerak penyiaran agama ini. Pada awalnya agama Budha Nichiren Shoshu Indonesia masih dianut oleh orang Jepang yang bertugas di Indonesia pada tahun 1950-an. Pada saat itu penganutnya hanya terdiri dari beberapa keluarga saja. Pada tahun 1960-an mulai membentuk pertemuan-pertemuan diskusi untuk mempelajari agama Budha Nichiren Shoshu Indonesia dan mendapatkan banyak pengikut.
Shintaro Noda, pegawai Nissho Iwai, sejak tahun 1920-an telah menetap di Indonesia, sempat menjadi tawanan tentara sekutu di Jawa dan Australia, dan karena itu menderita berbagai penyakit, akhirnya dipulangkan tentara sekutu ke Jepang. Di Jepang beliau bergabung dengan Sokagakkai dan menganut Nichiren Shoshu berhasil sembuh dari penyakit.
Pada akhir tahun 1940 akhir Shintaro Noda, anggota Sokagakkai, pegawai Nissho Iwai kembali bertugas di Indonesia dan sekaligus menjadi penyiar agama Nichiren Shoshu sekaligus pimpinan Nichiren Shoshu di Indonesia sampai awal tahun 1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada Sokagakkai dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional.
Pemerintahan Orde Baru yang diskriminatif, mengkategorikan semua agama Buddha sebagai unsur-unsur budaya Tionghoa yang tidak boleh berkembang dan segala kegiataanya harus diawasi menimbulkan berbagai goncangan. Terpaksa dibuat Yayasan Nichiren Shoshu Indonesia pada tahun 1967, yang sebenarnya dipimpin oleh bukan umat Nichiren, melainkan saudara sepupu dari seorang penganut. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda yang berkewarganegaraan Jepang tidak dapat menjadi pemimpin de jure. Akhirnya pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota sokagakkai.
Di kemudian hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya Ir Soekarno, seorang mantan menteri pada masa Orde Lama, menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di Indonesia, mewakili NSI menjadi pendiri organisasi yang sekarang bernama WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Perpecahan Nichiren Shoshu di Indonesia
Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Sebagaimana umumnya pekembangan organisasi, bilamana telah berkembang pesat, maka pada tahap-tahap tertentu muncul masalah rule of the game, management asset/financial, dan mekanisme pertanggungjawaban kepemimpinan organisasi. Tahun 1986 muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI, yang memang belum ada. Draf AD ART disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang dikemudian hari dikenal sebagai kelompok 9.
Inisiatif kelompok sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan, AD ART NSI tak kunjung terwujud, mereka lalu membuat Yayasan Visistakaritra pada tgl 16 Februari 1987. Sehubungan dengan ketentuan undang-undang tentang yayasan di kemudian hari dibentuk yayasan Visistakaritra, yang dimaksudkan untuk melanjutkan kegiatan Visistakaritra sampai saat ini,dan secara subyektif berorientasi pada Sangha Nichiren Shoshu.
NSI sendiri sepeninggalan almarhum Senosoenoto, terpecah 2 karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung wakil ketua umum Johan Nataprawira dan kubu wakil ketua umum Keiko Senosoenoto. Dalam suatu muktamar akhirnya terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira. dan saat ini masih menjadi ketua umum NSI. Namun keberadaan ini ditentang oleh Sangha Nichiren Shoshu. Akibatnya sampai sekarang ini Suhandi Senjaya dikeluarkan dari Nichiren Shoshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut Nichiren Shoshu di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuaannya, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini.
BDI kemudian sekitar tahun 2000-an ,bersama Sangha Nichiren Shoshu membentuk Yayasan Pendidikan Sangha Nichiren Shoshu Indonesia yang diketuai oleh mantunya Keiko Senosoenoto, suaminya Aiko Senosoenoto, Rusdy Rukmarata.
Yayasan Sangha ini "memiliki" memiliki dua buah kuil, Myogan-ji terletak di Megamendung dan Hosei-ji teletak di Jakarta. Kedua Kuil tersebut dipimpin Kepala Kuil Bhikku dari Kuil Pusat Taiseki-ji Jepang.
Pada tahun 1992 terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Shoshu (di Jepang) dengan Sokagakkai / Sokagakkai internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte tersendiri dan diberi nama Nichiren Sekai Shu. Kejadian ini juga berimbas ke Indonesia, sebagian umat Nichiren Shoshu yang ada membentuk kelompok baru bernama Sokagakkai Indonesia yang berpusat di Kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte Nichiren Sekai Shu, yang tentu saja didukung oleh Sokagakkai internasional dan Shintaro Noda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar